Qunut (Subuh): Bijak Menyikapi Perbedaan dan Kontekstualisasinya

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Salah satu persoalan perbedaan pendapat (khilafiyah) yang sampai saat ini masih berlangsung adalah tentang qunut pada salat subuh. Pada suatu masjid umum (bukan milik ormas tertentu) sering kita saksikan ketika pada rakaat kedua setelah iktidal sikap para jamaah bermacam-macam. Ada yang qunut dan ada yang tidak. Yang menggelikan adalah ketika mereka dalam posisi salat berjamaah. Ketika imam melakukan qunut, ada jamaah yang tidak ikut serta. Sebaliknya juga terjadi, ketika imamnya kebetulan tidak qunut, ada sebagian makmum yang (memaksakan) melakukan qunut sendiri. Malah ada imam yang ketika tidak qunut, setelah iktidal, perlu berdiri sedikit lama. Alasannya, patut diduga, untuk memberikan kesempatan kepada sebagian makmumnya yang ingin qunut. Yang menarik, sampai saat ini qunut selalu dikaitkan dengan dua ormas Islam terbesar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Yang tidak qunut dianggap Muhammdiyah sedangkan yang qunut dianggap NU.

Praktik demikian, saat ini memang berjalan ‘aman-aman’ saja. Saling serang dengan argumen dalil plus retorika, baik dari penganut qunut maupun yang kontra seperti yang terjadi era tahun 70-an ke bawah, memang jarang kita dengar lagi. Kalaupun masih ada, paling hanya dalam kesempatan pengajian-pengajan khusus oleh ormas tetentu. Dan, yang demikian tentu menggembirakan karena kita tidak terjebak pada perdebatan-perdebatan kurang penting yang sering ikut menguras energi. Meskipun demikian, untuk meyegarkan pengetahuan kita tentang ‘perqunutan’ (subuh) ini, ada baiknya kita simak kembali wacana ini menurut pandangan para ulama dan bagaimana sebaiknya kita menyikapi.
Ulama fikih (para fkaha) memang berbeda bendapat menganai qunut subuh. Dalam Kitabnya Fiqh al-Sunnah, Sayiq Sabiq mengemukakan padangan para fukaha seputar wacana qunut pada salat subuh ini. Imam Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinyatakan sahih olehnya, dari Malik al Asyja’iy, ia berkata, ayahku pernah mengerjakan salat di belakang Rsulullah SAW letika masih berumur 16 tahun, Abu Bakar, Umar. Utsman. Aku bertanya, apakah rasulullah SAW dan para sahabat melakukan qunut? Ayahku menjawab, tidak wahai anakku. Itu hanya suatu yang diada-adakan. Ibnu Hibban, Khatib, dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan sebuah hadits shahih dari Anas, bahwa rasulullah SAW tidak penah melakukan qunut ketika mengerjakan salat subuh kecuali ketika mendoakan kebaikan atau kebinasaan suatu kaum. Bahkan Zubair dan tiga khalifah (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) tidak pernah qunut ketika mengarjakan salat subuh.

Pendapat tersebut dipegangi oleh Madzhab Hanafi, Hambali, dan Ibnu Mubarak, Tsauri, dan Ishaq.
Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, bahwa qunut dalam salat subuh yang dilakukan ssudah ruku’ pada rakaaat kedua hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, Ubnu Majah, dan Abu Dawud dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik pernah ditanya, apakah rasulullah SAW pernah melalukan qunut ketika mengerjakan salat subuh? Dia menjawab “ya.” Kemudian dia ditanya lagi, sebelum ruku’ atau sesudahnya? Dia, menjawab, sesudah ruku.
Dalil lain bagi yang melakukan qunut ialah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bazzar, Daruquthni, Baihaqi, dan Hakim yang menurutnya hadits sahih dari Anas bin Malik. Dalam riwayat ini disebutkan bahwa rasulullah SAW senantiasa mengerjakan qunut ketika mengerjakan salat subuh sampai beliau wafat.

Dengan demikian, terlepas setuju atau tidak, baik yang tidak qunut maupun yang melakukan qunut, masing-masing mempupunyai sandaran riwayat. Tentang mana yang lebih sahih tentu masing-masing merasa dalil pendapatnyalah yang lebih sahih. Selanjutnya, yang tidak qunut silahkan yang qunut juga silahkan. Yang tidak boleh ialah jika perbedaan itu berlanjut kepada sikap saling menyalahkan. Tradisi perbedaan pendapat para ulama dalam memahami hadits, bahkan teks-teks agama pada umumnya, sudah sering terjadi pada hampir di semua aspek persoalan furu’. Dalam fikih Madzhab Syafii, qunut hanya sunah dan bagi yang tidak qunut, jika dilakukan, juga tidak sampai membatalkan salat. Jalan pikiran demikian agaknya perlu dicamkan, terutama ketika berjamaah di suatu masjid umum yang kebetulan mengikuti imam yang punya pendapat berbeda dengan kita sebagai makmum.

Sikap yang sangat bijaksana bagaimana menyikapi perbedaan pendapat mengenai soal fikih (furu’), pernah dicontohkan oleh Syaikh Abdurrahman al-Sudais. Imam Besar Masjidil Haram ini pada suatu kesempatan ‘didaulat’ menjadi khatib dan Imam salat Jumat (31 November 2014) di Masjid Istiqlal. Ketika memimpin salat tersebut beliau menjaharkan (mengeraskan) bacaan “basmalah” saat memulai surat “alfatihah” pada rakaat pertama. Tidak hanya itu, beliau juga menjaharkan bacaan basmalah sebelum memulai membaca surat (surat al A’la). Pada rakaat kedua, beliau membaca bacaan basmalah secara perlahan (sir) demikian juga ketika memulai membaca surat setelah alfatihah. Padahal, beliau adalah seorang penganut wahabi yang secara fikih berafiliasi ke Madzhab Hambali yang mentradisikan basmalah dibaca secara pelan (sirr). Alumnus S-3 Ummul Qurro dengan predikat Cumlaude ini, pasti tahu bahwa di Indonesia pada umumnya menjaharkan bacaan basmalah karena mayoritas umat Islam menganut Madzhab Syafi’i. Akan tetapi, pada saat yang sama beliau juga tahu bahwa di Indonesia pun ada umat Islam yang secara fikih mengikuti madzhab yang tidak menjaharkan bacaan basmalah.
Sikap yang ditunjukkan oleh imam–kelahiran 10 Februari 1960 dan bergelar professor doktor di masjid kebanggan Indonesia—itu, seolah memberikan pesan, bahwa membaca basmalah, baik secara keras (jahar) atau pelan (sir) sama-sama tidak dilarang. Praktik yang ditunjukkan ulama bersuara merdu ini, tentu perlu kita contoh. Kepada umat, beliau seolah hendak menyampaikan pesan, bahwa perbedaan masalah fikih (furu’) tidak perlu dipegangi secara mutlak dan dibesar-besarkan. Dalam menyikapi perbedaan furu’ ini perlu ditunjukkan dengan sikap bijak di mana pun berada. Demi keamanan dan kenyamanan hidup, bahkan sikap bijak menyikapi perbedaan ini, juga perlu kita kontekstualkan ketika menyikapi perbedaan yang ada pada semua aspek kehidupan dan sering terjadi di sekeliling kita. Implementasinya ialah “bagaimana membiasakan tidak (terlalu) bersitegang dalam hal-hal yang bukan prinsip.” Komitmen demikian perlu kita tanamkan dalam diri kita, agar energi kita tidak terbiasa terbuang percuma untuk hal-hal yang kurang produktif, tidak penting, dan kurang memberikan manfaat bagi kehidupan.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait