Radikalisme dan Persekusi Cina terhadap Uighur

  • Whatsapp

Oleh: Luthfiah

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muslim Indonesia

Isu radikalisme di wilayah Xinjiang, Cina, di mana sasarannya adalah etnis muslim Uighur kini tengah menjadi perhatian internasional.

Muslim Uighur yang merupakan kaum minoritas diterpa berbagai macam tindak reprensif pemerintah Cina dengan diberlakukannya berbagai hukum dan kebijakan berbau diskriminasi seputar menjalankan aktivitas keagamaan.

Pemerintah Cina seolah ingin menghilangkan simbol-simbol keagamaan dalam bentuk fisik, seperti melarang kaum Uighur memelihara janggut, mengontrol cara berpakaian.

Membatasi materi-materi ceramah khotbah, hingga pemberian nama pun menjadi tindak kekerasan mereka dalam menekan kehidupan masyarakat Uighur.

Secara geografis wilayah Xinjiang merupakan wilayah yang paling luas di kekuasaan Republik Rakyat Cina, pemerintah Beijing menjadikan Xinjiang sebagai daerah otonom kekuasaan, tetapi penduduk asli belum cukup banyak.

Untuk itu pemerintah Beijing melakukan imigrasi besar-besaran terhadap suku Han ke wilayah yang didominasi etnis Uighur tersebut.

Dengan dilakukannya kebijakan tersebut, pemerintah Cina seolah mengupayakan agar wilayah Xinjiang secara garis keturunan dikuasai oleh penduduk asli.

Bukan penduduk Uighur yang secara historis dominan mengikut budaya dan keyakinan Asia Tengah dan bangsa Turki.

Ada semacam unsur paksaan yang tentu saja mengarah ke kepentingan otonom dalam kebijakan ini. Secara kolektif mereka ingin ada penyamarataan ideologi.

Minoritas masyarakat Uighur yang jumlah populasinya sekitar 10 juta ini mendiami wilayah Cina sejak berabad-abad silam, dan pada awal abad ke-20 etnis ini mendeklarasikan kemerdekaannya dengan nama Turkestan Timur.

Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan budaya mereka yang lebih kental wilayah Asia Tengah-nya ketimbang mayoritas bangsa Han.

Beberapa kasus yang menjadi penyebab pemerintah Cina membuat peraturan dan kontrol terhadap bangsa Uighur ini karena ingin mencegah tindakan terorisme.

Kecurigaan ini bermula dalam beberapa kasus yang terjadi di Xinjiang yang berakibat tewasnya ratusan warga sipil, dan pihak otonom menyalahkan kaum muslim Uighur.

Konsekuensi demi konsekuensi akhirnya diterima oleh etnis Uighur, setiap aktivitas dikontrol, keleluasaan mereka dalam menjalankan kehidupan sehari-hari pun menjadi sesuatu hal yang sulit untuk didapatkan, kebebasan berpendapat mereka dibungkam dengan berbagai bentuk kekerasan tentara-tentara Cina.

Bahkan dalam berbagai pemberitaan yang masif saat ini menyebutkan bahwa etnis Uighur ditahan dalam kamp-kamp dan diawasi secara ketat. Petugas-petugas yang dikirim pemerintah Cina diketahui melakukan indoktrinasi dan re-education terhadap masyarakat Uighur.

Tudingan radikalisme yang menjadi alasan dan sikap sepenuhnya pemerintah Cina terhadap muslim Uighur dalam pencegahan ekstrimisme.

Malahan tindakan ini akan dinilai berbalik arah terhadap pemerintah Cina itu sendiri karena melanggar hak asasi muslim Uighur dalam menganut ideologi dan keyakinan mereka.

Perhatian dunia akan hal ini tentu sangat sensitif, berbagai aksi dan demo digelar oleh organisasi dan lembaga keagamaan, kebijakan dan aturan sesegera mungkin menjadi bahan yang harus dirundingkan dalam pertemuan forum internasional agar tak ada korban dalam kasus ini.

Namun hingga hari ini pun dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menyatakan sikap tegas terhadap Cina dan Uighur.

Jika hal ini terus berkepanjangan dan tak menjadi pertimbangan, maka kejahatan yang dirasakan Muslim Uighur bisa saja meningkat dalam ranah kejahatan genosida, dengan membunuh mereka karena keras kepala tidak mengindahkan segala macam tekanan serta aturan.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *