Anda tahu kan Singapore. Habibie dulu pernah menganalogikan Singapore itu dengan dote ( titik) dalam Peta, ditengah jajaran ribuan pulau di Indonesia. Artinya memang kecil sekali. Penduduknya hanya sebanyak penduduk lampung. Lebih banyak penduduk jakarta. Walau kecil sejumput titik wilayah Singapore itu namun Ekonomi Singapore mengalahkan semua provinsi yang ada di Sumatera, Jawa dan kalimantan. Padahal Singapore tidak punya banyak SDM seperti Jawa. Tidak sebanyak SDA seperti Sumatera dan kalimantan.
Mengapa ? Karena Singapore menguasai trading komoditas, terutama minyak dan pangan ( oil and food). Impor dan eksport kita menggunakan Singapore sebagai HUb. Untuk menjadikan Singapore sebagai trading House kelas dunia, Singapore melengkapi dirinya dengan tekhnologi logistik yang paling efisien di dunia dan Fasilitas perbankan yang modern. Bukan itu saja, Singapore juga menyediakan portal trading dengan sistem clearing yang efisien dan terhubung dengan pusat perdagangan dunia seperti London, Boston, Hongkong, dan lain lain. Semua fasilitas itu dikelola dengan sangat transparant dan punya kepastian hukum yang solid. TRUST nya sangat tinggi.
Pertanyaan nya adalah, mengapa Singapore bisa menjadi magnit bagi trader kelas dunia untuk terhubung dan mampu membangun infrastruktur trading dunia? Jawabannya adalah Karena Singapore punya resource market dan komoditas dari Indonesia. Itu dibangun tidak sebentar tetapi puluhan tahun. Di awali sejak Soeharto berkuasa sampai dengan tahun 2014, Singapore mendapatkan akses sebagai agent semua komoditas dan market dari Indonesia. Tanpa bantuan Soeharto, Singapore itu nothing. Tetapi karena itupula Singapore membuat segelintir orang Indonesa yang dekat dengan elit politik kaya raya dengan cara mudah.
Nah ketika era Jokowi, Petral di bubarkan. Apakah posisi Singapore sebagai Hub hilang ? Tidak. Direksi pertamina dan menteri ESDM hanya mengubah Tataniaga BBM, sementara sistem masih bergantung dengan Singapore sebagai Hub, dan rente masih terus berlangsung dengan model lain. Ya memang kita sudah menerapkan sistem ISC untuk menjamin pengadaan BBM tetapi hub trading tetap menggunakan fasilitas Singapore. Mengapa? Karena kita belum punya pusat logistik untuk trading oil dan gas. Belum punya portal trading House yang punya reputasi didukung oleh prime bank international. Akibatnya itu hanya ganti baju.
Mengapa? Karena visi Jokowi mencabut Petral sebagai trading Arm pertamina hanya diterjemahkan oleh pertamina dan menteri esdm sebatas perubahan tata niaga saja. Padahal visi Jokowi itu bertujuan kepada kemandirian. Seharusnya pertamina dan menteri ESDM membangun infrastruktur seperti yang Singapore punya untuk trading oil and gas. Untuk mengamankan pasar domestik tidak dikuasai trader Singapore, pertamina harus segera membangun kilang BBM dengan kapasitas produksi diatas kebutuhan domestik sehingga kelebihannya bisa diekspor.
Lima tahun Jokowi berkuasa pada periode pertama, tidak ada perubahan signifikan terhadap kemandirian kita dibidang oil and gas. Padahal kita menguasai sumber daya itu. Nilai tambah jasa dan harga didapat oleh Singapore. Kita hanya dapat lendir aja. Itulah dahsyatnya oligarki bisnis mengusai elite politik. Saya berharap periode kedua ini, perubahan pada ESDM terjadi. Kalau engga, maka ancaman serius akan melanda Indonesia. Yang korban anak cucu kita. Kita akan lihat tahu depan. Terutama kalau Ahok gagal jadi pejabat Pertamina. Maka tahulah kita bahwa mafia migas itu terlalu besar untuk dihadapi Jokowi.
Erizeli Jely Bandaro