Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Tingga Agama)
Seorang yang berstatus sebagai karyawan, baik negeri maupun swasta dituntut untuk bekerja pada jam-jam tertentu dan dengan target-target tertentu pula. Situasi rutinitas tersebut tentu bisa membuat stres, kelelahan, dan kejenuhan. Pada saat yang sama sebagai pribadi dia jua mempunyai keperluan atau target-target yang juga harus dipenuhi. Dengan alasan itu, seorang pegawai jelas memerlukan waktu istirahat. Waktu istrahat ini tentu di luar waktu libur resmi yang biasanya hanya 2 hari dalam seminggu di tambah hari libur nasional yang hanya beberapa hari dalam setahun. Dalam situasi demikian, kalau tidak diberi waktu khusus untuk istirahat, berpotensi dapat berpengaruh tidak hanya pada kesehatan fisik tetapi juga mental. Untuk keperluan istirahat tersebut biasanya setiap pegawai diberikan hak cuti. Yaitu, semacam liburan, di luar hari-hari libur resmi, pada waktu tertentu dan dengan mekanisme tertentu.
Bagi pegawai negeri sipil (PNS) masalah cuti tersebut kini diatur dalam aturan tertentu. Sebagaimana diketahui, kini negara telah mengatur pemberian cuti yang secara operasional telah dituangkan dalam Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil. Di samping cuti dalam aturan tersebut terdapat pula istilah cuti bersama yang diterbitkan setiap tahun dalam bentuk keputusan presiden (Keppres), yaitu ketika menyikapi hari-hari besar keagamaan. Maskipun demikian, semua aturan cuti yang ada, belum didasarkan atas situasi dan kondisi riil pegawai di lapangan sehingga sangat dirasakan kurang adil. Mengapa?
Sejak era reformasi yang salah satunya lahirnya berbagai aturan tentang otonomi daerah, secara ekstrim terdapat 2 macam pembedaan pegawai, yaitu pegawai pusat dan daerah. Tentang pengangkatan para pegawai tersebut telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Kejaksaan Agung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga Lain yang dipimpin oleh Pejabat Struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/ Lembaga Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya. (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 9 Tahun 2003). Sedangkan, PegawaiNegeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya. (Pasal 1 angka 2 PP Nomor 9 Tahun 2003).
Dengan demikian, secara umum yang disebut pegawai pusat ialah PNS milik pemerintah pusat dan pegawai daerah adalah PNS milik daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota). Istilah pegawai pusat muncul akibat adanya beberapa bidang tertentu yang menurut peraturan perundang-undangan memang tidak masuk wilayah ‘kekuasaan’ otonomi daerah, seperti agama, pertahanan, moneter, dan peradilan. Konsekuensi berikutnya lahirlah pegawai hasil rekrutmen pemerintah pusat yang harus disebar di seluruh wilayah Indonesia nan luas ini. Sering pegawai yang demikian harus bertugas di daerah yang jauh dari tempat kelahiran atau keluarga besarnya. Sedangkan bagi pegawai daerah akibat direkrut sesuai dengan kebutuhan daerah biasanya juga bertugas di daerah yang relatif dekat dengan keluarga. Paling tidak, masih di wilayah provinsi atau kabupaten/ kota yang besangkutan.
Pemberian cuti tersebut tidak membedakan pegawai yang bertugas di lingkungan (dekat) keluarga dan pegawai yang bertugas jauh dari keluarga atau PNS pusat dan PNS daerah. Indonesia dengan luas wilayah teritorial yang ada, sering mengakibatkan pegawai atau pejabat pusat sangat sulit bertemu keluarga. Untuk sekedar bertemu keluarga, karena alasan geografis sering tidak mudah. Memang, ada yang karena kemajuan teknologi transportasi, waktu tempuh sering lebih singkat. Akan tetapi, untuk menempuhnya, tentu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit karena harus memakai transportasi udara. Padahal, biaya untuk ‘bercuti ria’ tersebut harus di dapat dari pencairan tabungan pribadi alias biaya sendiri. Dari sini ada istilah untuk sekedar bertemu keluarga yang hanya beberapa saat harus “mantab” (makan tabungan). Pada saat yang sama hak cuti yang diberikan pegawai yang bertugas di lingkungan keluarga sama saja. Jelas terjadi perbedaan ekstrim tentang kisah 2 kelompok pegawai. Pegawai yang tugas dekat keluarga lebih berpeluang mengumpulkan sisa gaji untuk ditabung, sedangkan gaji pegawai atau pejabat yang tugas jauh dari keluarga nyaris habis hanya untuk hal-hal urusan domestik, seperti untuk membeli tiket pesawat. Terhadap pegawai atau pejabat model demikian jika ditanya tentu akan berharap, agar model cuti pegawai yang ditugaskan dekat keluarga dengan yang ditugaskan jauh keluarga dibedakan.
Aturan mainstream regulasi cuti mestinya hanya diperuntukkan pegawai yang kebetulan bertugas di dekat keluarga. Sedangkan, bagi pegawai yang ditugaskan jauh keluarga, diberi regulasi cuti khusus, secara berkala, seperti setiap 3 bulan atau 4 bulan sekali atau diberi hak cuti dengan lama tertentu sekaligus ditanggung negara. Kalau tidak, sampai kapan pagawai yang demikian, bisa setara dengan teman-teman pegawai yang tidak perlu mengeluarkan untuk membeli tiket pesawat? Mungkin ada yang bertanya, bukankah ketika menjadi pegawai sudah terikat sumpah harus mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau keluarga? Atau mungkin ada yang beranggapan bertemu keluarga bukan, dalam konteks aturan kepegawaian, bukan masalah primer? Dan, sejumlah pertanyaan bernada sanggahan lain.
Untuk itu ada baiknya kebijakan negara mencontoh yang pernah dipraktikkan Khalifah Umar bin Khattab. Dalam konteks ‘cuti’ pemimpin negara tertinggi itu, menyerap aspirasi rakyatnya, dalam hal ini para istri prajurit. Salah satu mertua baginda rasulullah ini, sangat masygul ketika secara diam-diam memergoki seorang istri prajurit bersenandung rindu terhadap suaminya yang berbulan-bulan tidak pulang karena tugas negara. Setelah menerima masukan dari putrinda Hafsah beliau pun mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Menganai hal ini terekam dalam Kitab Tarikhul Khulafa karya salah seorang Ulama terkenal Al Imam Jalaludin as- Suyuthi dalam salah satu episode pemerintahan Umar bin Khattab. Kisah tersebut sepatutnya menginspirasi para pembuat kebijakan kepegawaian, khususnya dalam membuat regulasi cuti pegawai.