Jakarta —Sidang Paripurna DPR RI ke 19 Masa Persidangan IV Tahun 2021-2022 yang digelar Selasa (12/04) menjadi momen bersejarah dan dinanti-nanti oleh seluruh masyarakat, khususnya korban kekerasan seksual dan masyarakat sipil yang selama ini mendampingi korban.
Dalam sidang tersebut, Ketua DPR Dr.(H.C) Puan Maharani mengetok palu tanda pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang. Ini buah dari perjuangan yang digaungkan sejak RUU ini diusulkan pada 2016 lalu.
“Pengesahan RUU TPKS hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia apalagi menjelang diperingatinya Hari Kartini,” ujar Puan, Rabu (12/04).
Pembahasan Daftar Inventaris Masalah intensif dilakukan DPR dan Pemerintah sejak 24 Maret lalu. Dalam pembahasannya, Puan Maharani mendorong adanya transparansi serta mengakomodir suara kelompok masyarakat sipil yang selama ini mengawal dan mendampingi korban kekerasan seksual.
“Kami berharap bahwa implementasi dari UU ini nantinya akan dapat menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual, perlindungan perempuan dan anak yang ada di Indonesia,” tegas Puan.
Agar UU TPKS bisa segera diimplementasikan menjadi instrumen hukum yang kuat dan komprehensif dalam pencegahan dan pengaturan sanksi hukum bagi pelaku kekerasan seksual, Puan Maharani mendorong agar Pemerintah segera menyusun aturan turunannya. Ini penting agar UU TPKS bisa diimplementasikan dan menjadi pedoman bagi aparat dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.
“Sekarang saatnya UU TPKS diterjemahkan menjadi aturan-aturan pelaksanaan teknis agar semangat penyusunannya dapat segera dirasakan wujud nyatanya,” ujar Puan.
“UU TPKS dan aturan-aturan turunannya akan menjadi pedoman bagi aparat dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual,” lanjut Puan.
Seturut dengan yang disampaikan Ketua DPR RI, Puan Maharani, Komnas Perempuan juga mendorong Pemerintah untuk segera merumuskan peraturan turunan. “Komnas Perempuan akan terus mendukung upaya implementasi UU TPKS dalam mendorong perumusan peraturan turunan,” tulis Komnas Perempuan dalam rilis yang dikutip Selasa (12/04).
Hal senada diungkapkan Titi Anggraini, Wakil Koordinator Perempuan Indonesia. Proses pengawalan RUU TPKS tidak berhenti sampai pada pengesahan RUU saja. “Masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dikawal realisasinya. Mulai dari memastikan pembentukan peraturan pelaksanaan sebagai turunan UU TPKS,” tutur Titi (12/04).
Dalam catatan Titi, bentuk peraturan pelaksaan sebagai turunan UU TPKS berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan juga Peraturan Presiden. Untuk PP yang harus segera dikeluarkan Pemerintah adalah aturan tentang sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban; hingga ketentuan penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Selain itu, PP juga mengatur soal Ketentuan tata cara Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan; serta Ketentuan Penyelenggaraan Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tambah Titi.
Sementara untuk Peraturan Presiden mengatur tentang Pelayanan Terpadu untuk pemulihan setelah proses peradilan.
“Untuk Perpres mengatur lebih lanjut tentang tim terpadu saat, penyelenggaraan Pelayanan Terpadu di pusat, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, serta mengenai kebijakan nasional tentang pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” tegas Titi.
Terkait penyusunan aturan turunan UU TPKS, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memastikan Pemerintah akan bergerak cepat agar UU TPKS aplikatif.
“Semangat antara DPR RI dan Pemerintah dan masyarakat sipil yang harus terus kita ingat agar UU ini nantinya memberikan manfaat ketika diimplementasikan khususnya bagi korban kekerasan seksual,” ujar Bintang saat menyampaikan pendapat akhir Presiden dalam Sidang Paripurna, Selasa (12/04).
Bintang memaparkan terobosan dalam UU TPKS, yaitu pengualifikasian jenis tindak pidana seksual beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas menjadi tindak pidana kekerasan seksual, pengaturan hukum acara yang komprehensif, hingga pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, pelindungan dan pemulihan yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban.
Selain itu, UU ini juga mengatur tentang pemberian restitusi. Restitusi akan diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian bagi korban.
“Kami ucapkan apresiasi dan terimakasih kepada pimpinan, anggota DPR RI, atas segala komitmen, dedikasi, dan perhatiannya dalam menyelesaikan proses pembahasan RUU ini,” tutup Bintang.(ar)