JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Anggota DPR RI, Mulyanto, meminta Pemerintah cermati betul penyebab krisis energi yang terjadi di Inggris dalam sepekan terakhir.
Indonesia harus mengambil pelajaran, sehingga tidak mengalami hal serupa di kemudian hari. Pasalnya akhir-akhir ini kebijakan serupa, yakni transisi energi dari fosil ke sumber energi bersih atau Energi Baru Terbarukan (EBT) tengah hangat-hangatnya dibahas Pemerintah.
“Krisis energi di Inggris yang menjalar ke Eropa harus menjadi pelajaran bagi pengelolaan transisi energi Indonesia, terutama terkait semangat menghentikan lebih cepat operasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menggenjot EBT,” kata Mulyanto.
Bahkan masalah ini juga dipertanyakan wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini saat Rapat Panja Listrik Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik Kementerian Energi Smber Daya Minral (ESDM) dan Dirut PLN, Rabu lalu tentang penyusunan RUPTL yang sudah lewat 9 bulan.
Karena itu, Mulyanto minta Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, menyusun kebijakan dan program pengembangan ketahanan energi berdasarkan kepentingan energi nasional. Bukan sekedar ikut-ikutan tren dunia apalagi didikte pihak pemodal.
“Manajemen energi kita harus benar-benar berdasar pada national interest bukan sekedar latah atau didikte keinginan pihak luar. Karena ujung-ujungnya yang akan merugi dan menjadi korban adalah rakyat dengan menanggung harga energi yang mahal. Dalam rangka mensejahterakan rakyat kita membutuhkan energi yang bersih dan murah. Apalagi sumber dayanya melimpah secara domestik.
Pemegang gelar doktor nuklir Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 tersebut mengatakan, sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tentu harus mengikuti aturan main internasional yang telah disepakati bersama secara fair.
Namun, di atas itu semua, kepentingan nasional terkait kesejahteraan masyarakat adalah yang utama. Jangan sampai Indonesia didikte dan dipaksa mengikuti kemauan pihak luar, apakah melalui pemboikotan bank-bank internasional terhadap PLTU atau melalui kebijakan-kebijakan lain yang dapat merugikan masyarakat.
“Kasus Inggris yang kembali ke batubara adalah contoh aktual untuk kita. Hukum besi dunia memang seperti itu. Di atas hukum internasional tetap ada hukum domestik, yakni nasional interest masing-masing negara,” kata Mulyanto.
Dikatakan, tidak mungkin Inggris mengorbankan masyarakatnya demi komitmen atas energi bersih mereka. Tetap yang utama adalah kesejahteraan rakyat mereka. Setiap negara fokus untuk memperjuangkan kepentingan nasional mereka.
Kita harusnya demikian. Kesejahteraan masyarakat kita adalah hal yang utama. Ini adalah national interest yang diamanatkan dalam pembukaan Konstitusi kita. Jangan mau dicocok-hidung pihak asing. Termasuk dalam masalah energi,” jelas Mulyanto.
Sebelumnya diberitakan dalam dua pekan belakangan Inggris mengalami krisis pasokan energi. Hal ini disebabkan karena tidak mulusnya proses transisi energi mereka dari pembangkit listrik batu bara ke gas. Akibatnya distribusi gas terganggu dan harga melambung, sehingga menyebabkan kelangkaan.
Akibat gangguan tersebut maka produksi energi menjadi terbatas. Masyarakat Inggris kalut dan melakulan aksi panic buying. Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah Inggris akhirnya menetapkan kembali penggunaan batu bara untuk produksi energi.
Indonesia juga tengah intens membahas kebijakan transisi energi ini dengan meningkatkan porsi pembangkit listrik dari sumber EBT dan mengurangi peran energi fosil. Ditargetkan tahun 2060 Indonesia bebas dari emisi karbon. (akhir)