JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melaksanakan investigasi secara komprehensif atas musibah lepasnya gas beracun di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) yang menewaskan lima warga dan 50 lainnya dirawat di rumah sakit.
Permintaan tersebut disampaikan wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Direktur Utama Pertamina, Direktur PT SMGP di Kompkek Parlemen Senayan, Jakarta pertengahan pekan ini.
Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Pembangunan dan Industri ini menilai paparan Dirjen EBTKE Kementerian ESDM dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) itu masih bersifat sementara.
Banyak hal penting belum terungkap seperti penyebab kematian warga, waktu dan jarak korban saat pelepasan gas dan dari cerobong, pengukuran konsentrasi gas dan penggunaan detektor gas sebelum dilepas, modeling arah, kecepatan, dan ketinggian angin untuk memperkirakan aliran fluida gas terkait keselamatan manusia dan lingkungan dan lain-lain.
Karena itu, Mulyanto meminta Pemerintah tidak mengeluarkan izin operasi kembali fasilitas SMGP sebelum laporan investigasi secara komprehensif dipresentasikan di Komisi VII DPR RI. Dan, harus ada jaminan dari SMGP untuk patuh dan bertanggung jawab untuk menjalankan rekomendasi yang diberikan.
Sebab, kata Mulyanto, kecelakaan PLTP ini preseden buruk bagi bangsa ini yang tengah mendorong penggunaan EBT. Apalagi saat ini Komisi VII DPR RI tengah mempersiapkan inisiatif DPR untuk menyusun RUU EBT. Ini kasus fatal, yang selama ini belum pernah terjadi dalam operasi PLTP di Indonesia.
“Investigasi teknis ini penting dilakukan Pemerintah secara komprehensif, sehingga penyebab dasar bagi terlepasnya gas sulfur beracun (H2S) dalam jumlah yang mematikan tersebut diketahui dan dapat dicarikan solusi penyelesainnya, agar hal yang sama dapat dicegah di kemudian hari,” ujar Mulyanto.
Politisi senior ini mempertanyakan pelaksanaan sistem pengawasan kerja di perusahaan itu sehingga kecelakaan tersebut bisa terjadi. Sebab, berdasarkan pengalaman operasi PLTP Kamojang 35 tahun, pelepasan gas dari sumur adalah hal yang biasa, dengan prosedur baku. Karena ini hal yang bersifat alamiah dalam operasi PLTP yaitu uap air bercampur dengan gas.
Karena itu, uap air itu harus dikelola sedemikian rupa dengan prosedur tertentu sebelum dilepas melalui cerobong uap, agar uap air yang dibuang ke lingkungan tersebut mememuhi batas aman. “Jadi, penting sekali investigasi teknis komprehensif dari Pemerintah khusunya Kementerian ESDM. Dan, hasil investigasi teknis ini diminta untuk disampaikan Dirjen EBTKE saat RDP dengan Komisi VII DPR RI berikutnya,” lanjut Mulyanto.
Untuk diketahui, DPR tengah menggodok RUU EBT, dimana salah satu sumber energi primer utamanya adalah panas bumi. Isu risiko keselamatan pembangkitan listrik, menjadi salah poin pengaturan penting dalam RUU EBT tersebut.
Indonesia sendiri memiliki kapasitas terpasang energi panas bumi sebesar 2.132 MW atau sekitar 9 persen dari potensi resources energi panas bumi yang sebesar 24 GW atau setara dengan 3 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional yang 70 GW.
“Ini adalah kapasitas terpasang PLTP terbesar nomor dua didunia. Dengan potensi sumber daya yang ada. Indonesia berpeluang menjadi negara No. 1 yang memiliki kapasitas terpasang PLTP terbesar di dunia. Bila tidak ditangani dengan baik, kasus kecelakaan PLTP SMGP, yang mayoritas 90 persen sahamnya dari China ini dapat menjadi preseden buruk bagi pengembangan PLTP ke depan,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)