Anggota Badan Legislasi DPR RI: RUU Omnibus Law Cipta Kerja Pro Asing

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto M.Eng menilai, Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) sangat longgar terhadap asing tetapi mempersulit kepentingan lokal.

Harusnya, ungkap Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI tersebut, sesuai dengan namanya, RUU lebih dari 1.000 halaman ini bersahabat dengan tenaga kerja lokal tapi nyatanya malah memangkas hak dan mempersulit pengembangan pekerja lokal.

Salah satu masalah pokok yang cukup mengganjal dalam RUU Ciptaker, lanjut anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH) itu adalah soal kelonggaran bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), pengusaha dan investor asing yang berlebihan, sehingga melukai rasa keadilan dan mengancam kedaulatan ekonomi nasional.

Legislator dari Dapil III Provinsi Baten tersebut menyoroti beberapa pasal yang merugikan dan mempersempit penyerapan tenaga kerja lokal. Salah satunya adalah melalui penghapusan pasal 33 dalam UU No: 2/2017 tentang kewajiban perusahaan jasa konstruksi untuk memperkerjakan lebih banyak tenaga kerja lokal dari pada TKA.

Pada bidang hortikultura RUU Ciptaker tersebut, jelas Mulyanto, membuka peluang bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan TKA. Namun, syarat yang harus dipenuhi oleh TKA tersebut tidak ditentukan. “Ini kan aneh. Secara verbal semangat RUU ini adalah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk angkatan kerja lokal namun di sana-sini banyak pasal yang justru membuka kran bagi masuknya TKA. Di sisi lain, ketentuan bagi pekerja asing justru dipermudah seperti perusahaan diperbolehkan menggunakan tenaga kerja asing untuk pekerjaan yang tidak perlu keahlian khusus (unskill workers),” tegas Mulyanto.

Pemegang gelar doktor Institute of Technology Tokyo (Tokodai) Jepang itu mencatat beberapa ketentuan RUU Ciptaker ini yang sangat aneh. Diantara RUU Ciltaker yang aneh itu dihapusnya syarat Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), diperluasnya ruang lingkup pekerjaan tertentu yang tidak memerlukan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).

Selain itu juga tidak diperlukannya standar kompetensi TKA, dihapuskan kewajiban pengadaan tenaga pendamping TKA  dengan jabatan tertentu, dihapusnya larangan bagi TKA menjadi pengurus di lembaga penyiaran swasta, serta dihapusnya syarat rekomendasi dari organisasi pekerja profesional bagi TKA ahli di bidang pariwisata. “Jadi, wajar saja kalau para buruh kita murka dan mengancam demo meski di tengah pandemi Corona,” kata Mulyanto.

Mulyanto menilai, kemudahan bagi investor asing yang diatur RUU Ciptaker sebagai langkah mundur dalam perbaikan sistem investasi Indonesia. Dia menganggap beberapa ketentuan investasi dalam RUU Ciptaker ini sangat longgar untuk kepentingan investor asing.

Beberapa ketentuan yang melemahkan antara lain ingin diubahnya batas maksimal ketentuan modal asing pada beberapa bidang usaha strategis. Padahal kewajiban divestasi modal asing minimal 51 persen ini sudah sangat sesuai dengan prinsip kedaulatan ekonomi nasional.

Dalam praktek hari ini, kita telah berhasil membujuk perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia untuk mendivestasikan 51 persen dari saham mereka menjadi saham nasional. Beberapa perusahaan tambang sudah melakukan itu.

“Ini tentu merupakan kemajuan, yang berarti. Nah, kenapa lagi peluang bagi asing memiliki saham mayoritas kembali dibuka, dengan menghapuskan ketentuan mengenai divestasi saham minimal 51 persen dari perusahaan asing? Ini kan mundur,” ujar Mulyanto.

Ketentuan lain yang dinilai tidak tepat diubahnya ketentuan terkait modal asing untuk perusahaan pers, dimana sebelumnya dibatasi tidak lebih dari 20 persen dari seluruh modal, diubah batas maksimum kepemilikan asing pada bank umum syariah, dihapusnya ketentuan mengenai divestasi minimal 51 persen saham dari perusahaan asing di sektor pertambangan minerba, dihapusnya angka paling rendah 51 persen kepemilikan Negara di BUMN industri komponen utama dan/atau penunjang, industri dan/atau pendukung (perbekalan) dan industri bahan baku.

Masalah-masalah itu, ungkap mantan Inspektur Jenderal Departemen Pertanian ini harus dibahas secara komprehensif, mendalam, dan cermat oleh semua pihak yang terkait. Tidak boleh grasa-grusu dan sikap menggampangkan. Butuh suasana yang tenang hal sebesar ini. Masak membahas hal besar seperti ini hanya melalui rapat secara virtual.

Sebab masalah ini berkaitan langsung dengan kedaulatan ekonomi nasional dan rasa keadilan masyarakat.
“Jika kita tidak seksama membahas pokok masalah tersebut, secara tak langsung kita telah menggadaikan kedaulatan bangsa ini ke pihak asing atas nama cipta kerja,” demikian Dr H Mulyanto M.Eng. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait