Jakarta, beritalima.com | Di Indonesla, kebanyakan, masih ada dilema saat seorang perempuan berkarir dan berhasil mencari nafkah di satu sisi, tapi ia juga sebagai ibu rumah tangga.
Mengapa? Ini akibat konstruksi gender, dimana pempuan pencari nafkah minim dilihat perannya. Ia hanya tetap dianggap sebagai ibu rumah tangga.
Prof. Nina Nurmila, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat, mengutarakannya saat diskusi diadakan Perkumpulan Penulis Satupena tntang dilema perempuan Indonesia, pilih karier atau keluarga, di Jakarta (7/3).
Nina menyatakan, akibat konstruksi gender, saat perempuan bekerja, mereka tetap diharapkan menyelesaikan semua pekerjaan rumah dan mengurus anak-anak.
“Sementara suami yang tidak bekerja seolah harus ditutup-tutupi ketidak bekerjanya,” kritik Nina, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UIII Depok.
Nina menjelaskan, ada realitas yang menimbulkan dilema bagi perempuan. Pertama, tidak semua laki-laki dapat menafkahi keluarga.
Kedua, tidak semua perempuan tidak mampu bekerja (memperoleh uang) atau menafkahi keluarga.
“Yang menjadi dilema adalah saat istri bekerja, tetapi tidak ada sistem pendukung, seperti pengasuhan anak dan penyelesaian pekerjaan rumah tangga,” papar Nina.
“Tanpa sistem pendukung, perempuan bisa menjadi korban ketidakadilan gender dalam bentuk beban yang berlipat ganda,” lanjut aktivis perempuan ini.
Sebagai solusi perempuan bekerja, Nina mengusulkan, ada penyediaan sistem pendukung. Seperti, pengasuhan atau penitipan anak yang disubsidi dekat rumah atau tempat bekerja.
Selain itu, perlu ada fleksibilitas peran. “Suami mengambil alih semua pekerjaan rumah dan pengasuhan anak, saat suami tidak bekerja, atau berbagi jika keduanya sama-sama bekerja,” sarannya.
“Pembagian kerja antara suami istri juga tidak semata berdasarkan jenis kelamin, melainkan berdasar kesempatan, keahlian, dan keharusan,” tegasnya.
Jurnalis: Abriyanto