Hari Anak Sedunia: Anak-anak Indonesia membayangkan ulang dunia yang lebih berkelanjutan pasca-COVID-19

  • Whatsapp

Para pembuat perubahan muda Indonesia berbicara tentang krisis iklim dan solusi lingkungan dengan Duta Nasional UNICEF Indonesia Nicholas Saputra pada Hari Anak Sedunia

JAKARTA, Beritalima.com |20 November 2020 – Untuk memperingati Hari Anak Sedunia di Indonesia, anak-anak dan remaja dari seluruh negeri akan ambil bagian dalam acara streaming langsung pada tanggal 20 November untuk menyoroti dampak krisis iklim dan degradasi lingkungan dan menata kembali dunia yang lebih hijau dan lebih berkelanjutan.

Selama acara tersebut, beberapa anak muda pembuat perubahan lingkungan akan bergabung dengan Duta Nasional UNICEF Indonesia Nicolas Saputra untuk membahas tantangan yang mereka hadapi di komunitas mereka dan berbagi solusi yang mereka kerjakan.

• Anastasia Dita, 25 tahun, aktivis anak muda adat dari Palangka Raya, akan berbicara tentang karyanya untuk memberdayakan pemuda dalam isu keadilan sosial, budaya dan hak adat, dan perlindungan hutan di Kalimantan.

• Arisya G. Ramadhani (Ica), 19, dari Lintau, Sumatera Barat akan berbicara tentang bagaimana karyanya memberdayakan anak muda setempat untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas mereka melalui pendidikan agro berbasis komunitas yang berkelanjutan.

• Riyan Rinaldi, 23, dari Lumajang, akan berbicara tentang kerjanya dalam menyediakan air bersih melalui pompa air non-listrik ‘hidram’ untuk perempuan dan remaja lokal di Jawa Timur.

“Banyak anak muda di Indonesia melakukan hal-hal luar biasa dalam aksi mereka untuk mengurangi krisis iklim,” kata Duta UNICEF Indonesia Nicholas Saputra. “Kita perlu mendengarkan ide-ide mereka, karena mereka memiliki hak untuk berbicara dan didengarkan tentang semua masalah yang memengaruhi kehidupan dan masa depan mereka.”

Acara daring ini merupakan bagian dari rangkaian diskusi global antara pembuat perubahan dan duta UNICEF termasuk David Beckham, Millie Bobbie Brown, Orlando Bloom, dan Priyanka Chopra Jonas. Di Indonesia, acara ini adalah yang terbaru dari beberapa inisiatif untuk memperkuat suara kaum muda dan mendengarkan bagaimana mereka ingin membayangkan kembali masa depan mereka.

“Krisis iklim memiliki arti yang berbeda di setiap daerah. Kami perlu memahami setiap situasi dan memulai aksi iklim dari hal-hal kecil, dan menjadikannya kebiasaan sehari-hari,” kata Riyan, pembuat perubahan muda. “Kemudian, kita perlu memahami potensi lingkungan kita, untuk melihat solusi apa yang bisa dikembangkan, sehingga aksi iklim kita bisa lebih berdampak.”

Indonesia merupakan salah satu negara paling rawan bencana di dunia, dan terjadinya perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim seperti banjir, badai dan kabut asap, serta kerusakan lingkungan.

Selain itu, polusi udara merupakan faktor risiko utama ketiga kematian pada anak balita di Indonesia, akibat kompor yang tidak aman dan sebagai akibat dari pembakaran di udara terbuka, emisi mobil, sumber energi yang tidak bersih, kebakaran lahan gambut, dan urbanisasi yang cepat.

“Kaum muda memberitahu kami bahwa mereka prihatin dengan krisis iklim dan membutuhkan lebih banyak informasi untuk dapat mengambil tindakan,” kata Perwakilan UNICEF Debora Comini. “Hari Anak Sedunia adalah kesempatan untuk mendengar dari mereka tentang tantangan yang mereka hadapi dan seperti apa masa depan mereka.”

Beberapa minggu menjelang 20 November, UNICEF di Indonesia mengundang anak-anak dan remaja untuk berbagi perspektif mereka tentang krisis iklim dan masalah lingkungan melalui beberapa kegiatan, termasuk survei yang dilakukan melalui platform U-report Indonesia kepada 900 responden.

• Hampir semua responden survei (98 persen) mengatakan mereka merasa khawatir dengan krisis iklim, dengan 93 persen melaporkan telah terjadi bencana terkait iklim atau degradasi lingkungan di mana mereka tinggal selama 12 bulan terakhir.

• Sebagian besar (97 persen) mengatakan mereka telah melakukan beberapa tindakan iklim – seperti menggunakan lebih sedikit listrik, membuang limbah dengan benar, menolak menggunakan sedotan plastik.

• Hampir semua (99 persen) mengatakan mereka membutuhkan lebih banyak informasi dan dukungan untuk mengatasi krisis iklim: 37 persen mengatakan mereka ingin belajar lebih banyak dari kegiatan ekstra kurikuler, acara komunitas atau sekolah dan 44 persen ingin belajar lebih banyak dari kegiatan media sosial.(yul)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait