Mushaf Al Qur’an Terbesar Karya Alumni UNSIQ Wonosobo

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com | Mushaf Al Qur’an terbesar ukuran 2 x 3 meter (jika dibuka) yang penulisannya di gedung Pasca Sarjana UNSIQ Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, ternyata ditulis oleh H. Hayatuddin, alumni UNSIQ.

Penulisan ini, atas instruksi dari KH. Muntaha al Hafidz, pendiri UNSIQ. Ditulis sejak tahun 1991, hingga kini sudah 10 buah mushaf Al Qur’an yang dihasilkan. Sedangkan yang sedang berproses, merupakan mushaf Al Qur’an ke-11 dan selesai malam Nuzulul Al Qur’an.

Ke 10 Al Qur’an akbar tersebut saat ini disimpan di Bina Graha, Baitul Al Qur’an Taman Mini, Islamic Center Jakarta, Brunei Darussalam, Singapore, Makassar, Bahrain, Masjid Agung Semarang dan tempat lainnya.

H. Hayatuddin penulis Al Qur’an akbar, ingin menulis mushaf Al Qur’an sampai akhir hayat. Sejak tahun 1991, Pondok Pesantren Al Asy’ariyah yang diasuh KH Muntaha Al Hafidz (alm) dan Universitas Sains Al Quran (UNSIQ) Wonosobo Jawa Tengah dikenal melahirkan Al Qu’ran akbar. Hingga kini Al Qur’an akbar telah dikoleksi di berbagai penjuru dunia, termasuk di Kesultanan Brunai Darussalam.

Terbitnya Al Quran akbar ini, tidak lepas dari sosok H. Hayatuddin. Sebab dari seluruh Al Qur’an berukuran raksasa itu, merupakan hasil goresan tangan pria lulusan Fakultas Tarbiyah Universitas Sains Al Quran (UNSIQ) Wonosobo.

Pada lantai tiga gedung Pasca Sarjana UNSIQ, berderet replika Al Qur’an akbar yang digores dengan seni kaligrafi nan rapi dan indah.

Diantara deretan karya tersebut, tampak seorang pria duduk menghadap meja besar, di depannya terhampar kertas tebal berukuran sekitar 1,5 x 2 meter bertuliskan huruf Arab. Pena di tangannya seolah menari menuliskan khat-khat (huruf-huruf Hijaiyah) nan indah dengan tinta hitam yang sebelumnya telah di-sketsa memakai pensil.

Sesekali, matanya melihat kitab Al Qur’an yang tergeletak di meja kecil sebelah kanannya. Kemudian kembali melanjutkan menulis dengan hati-hati dan penuh ketelitian. Kepalanya menunduk, matanya terpaku pada huruf yang ditulisnya agar tidak salah menorehkan tinta.

Pria yang sangat tekun tersebut adalah H. Hayatuddin, penulis Al Qur’an raksasa, selama 28 tahun terakhir. Sejak dia masih duduk sebagai mahasiswa UNSIQ hingga bergelar sarjana, tiap hari tangannya tidak pernah lepas dari pena dan tinta untuk mengoreskan khat hijaiyah melahirkan Al Qur’an akbar.

“ Saya menulis sejak dapat perintah dari Almarhum KH Muntaha Al Hafidz, tepatnya tahun 1991,” katanya.

Sejak saat itu, lanjut pria bergelar Sarjana Pendidikan Islam ini, mengaku hari-harinya tidak pernah lepas dari pena dan tinta. Minimal enam jam sehari waktunya selalu dialokasikan di depan lembaran kertas akbar untuk menuliskan ayat-ayat Illahi.

“ Sampai saat ini, sudah 10 Al Qur’an akbar yang saya tulis dan di koleksi di berbagai tempat,” tandasnya.

Menurutnya lagi, Quran akbar pertama kali dihasilkan pada tahun 1991. Al Qur’an tersebut dihadiahkan kepada almarhum Presiden Suharto yang kini disimpan di Bina Graha. Kemudian sebagai bentuk rasa terimakasih dan penghargaan pada UNSIQ, Presiden Suharto menghibahkan proyek pembangunan ruang kuliah.

Setelah itu, ditulis lagi Al Qur’an yang selesai dibuat tahun 1996. Kemudian diserahkan kepada Tarmizi Taher yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama. Sekarang Al Qur’an berukuran 2 x 1,5 meter tersebut ditempatkan Baitul Quran Taman Mini Indonesia Indah Jakarta.

Penulisan Al Qur’an terus berlanjut. Al Qur’an ketiga yang dibuat tahun 2000 diminta oleh Gubernur DKI saat itu, Sutiyoso. Kitab raksasa tersebut menghuni gedung Islamic Center Jakarta.

“Bapak Sutiyoso memberikan hadiah berupa gedung berlantai 3 UNSIQ senilai Rp 1,3 miliar,” kenangnya.

Karya yang ke empat kini menghiasi Masjid Agung Semarang, Jawa Tengah. Al Qur’an berukuran 1,5 x 1 meter itu diserahkan kepada Gubernur Jateng saat itu, Mardiyanto, tahun 2005 silam. Sedangkan Alquran kelima merupakan pesanan dari Brunei Darussalam yang merupakan hadiah ulang tahun rakyat kepada rajanya, Sultan Hasanah Bolkiah yang berulang tahun ke-60 tahun 2006 lalu. Untuk karya Al Qur’an akbar keenam, di koleksi di Makkasar dan karya ketujuh di kirim ke Bahrain.

“Rata-rata penulisan Al Qur’an membutuhkan waktu 2,5 tahun. Tapi khusus pesanan Brunai Darussalam dikerjakan cukup singkat, selesai dalam waktu 8 bulan,” tuturnya.

Untuk mengerjakan karya akbar 30 juzz kalam Illahi ini, Ust. Hayatudin tidak sendiri. Pada dua karya awal dibantu H. Abdul Malik, khusus membuat ornamen (penghias) kemudian karya ketiga hingga saat ini dibantu, Anas Ma’ruf.

“ Saya khusus menulis khatnya (tulisan hijaiyahnya) ornamen ditangani yang lain,” ujarnya.

Pria dengan tiga putra ini, mengaku, setelah tulisann Al Qur’an akbarnya selesai 30 juz, akan memasuki proses selanjutnya yakni ditashih (teliti) oleh para penghafal Al Qur;an, dari mushaf hingga tata ilmu tajwidnya.

“ Setelah lolos dari pentashih, Qur’an baru dikirim kepada pemesan,” urainya.

Menulis kitab suci, sudah menjadi pekerjaan tetap selain mengajar Kaligrafi di Fakultas Tarbiyah UNSIQ dan mata kuliah Estetika Bentuk Jurusan Teknik Arsitektur.

Bahkan pria berkumis tersebut menegaskan akan terus menulis Al Qur’an hingga akhir hayatnya karena memenuhi amanah dari alm. KH Muntaha Al Hafidz yang bercita-cita terus melanjutkan tradisi menulis Al Quran.

“Mbah (KH Muntaha Al Hafidz) awal memerintahkan saya karena melanjutkan tradisi Mbah Ibrahim yang merupakan pengasuh Ponpes Al Asyariyah sebelumnya,” ungkapnya.

Dalam menuliskan kalam Illahi ini, ia mengaku tidak sekedar menulis, tapi harus mempersiapkan lahir dan batin. Pada pengerjaan dua Al Qur’an pertama, dia selalu dalam kondisi puasa dan kondisi suci dari najis atau terjaga wudhu. Namun kini karena sudah terbiasa, tak lagi harus menahan lapar dan dahaga. Tetapi kebiasaan yang sampai sekarang tidak ditinggalkan adalah berwudhu sebelum menulis.

“ Sekarang kalau hari biasa saya tetap puasa Senin Kamis,” tuturnya.

Secara keseluruhan, biaya produksi satu kitab Al Qur’an menghabiskan anggaran sekitar Rp 300 juta. Kertas dipesan khusus dari PT. Pura di Kudus dengan berat sekitar 255-300 kilogram. Sedangkan tinta yang digunakan rotring, dipesan dari Banjarnegara dengan pena khusus.

“Satu kitab menghabiskan sekitar 50 botol tinta berukuran 23 mili,” pungkasnya. (Lily)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *