Terbukti Malpraktik, Dokter Moestidjab dan Surabaya Eye Clinic Dihukum Membayar Tatok Poerwanto Rp 1,2 Miliar

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Mahkamah Agung (MA) memutuskan memenangkan gugatan Malpraktik yang diajukan Tatok Poerwanto terhadap dokter Moestidjab dan Klinik Mata Surabaya. Putusan MA menyatakan dokter spesilis mata Moestidjab berserta klinik mata Surabaya (Surabaya Eye Clinic) telah melakukan perbuatan melawan hukum dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 1.260.689.917 secara tanggung renteng kepada Tatok Poerwanto.

Putusan MA bernomor 1815 K/Pdt/2021 dan dikeluarkan pada 29 September 2021 tersebut membatalkan Putusan PN Surabaya Nomor 415/Pdt.G/2019/PN.Sby tanggal 10 Maret 2020 dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY tanggal 16 Juni 2020.

Kuasa hukum Tatok Poerwanto, Ir. Eduard Rudy Suharto, SH. MH mengatakan, bahwa Dokter Moestidjab dan Klinik Mata Surabaya sebagai pihak yang kalah pernah menyampaikan ke pihaknya bersedia membayar, namun pembayarannya tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Agung.

“Pembayarannya ditawar dengan nilai yang sangat jauh dari putusan Mahkamah Agung, sehingga kami akan ajukan permohonan eksekusi minggu depan atas harta benda yang dimiliki pihak yang kalah,” kata Eduard Rudy yang juga menjabat ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Surabaya, Selasa (17/5/2022).

Namun yang jelas bagi Eduard Rudy, segala bentuk ganti rugi yang diberikan oleh Mahkamah Agung tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang dialami kliennya yang mana semua aktifitasnya mengalami kelumpuhan total.

Eduard Rudy juga menyatakan, pangkal tolak pihaknya memenangkan gugatan ini adalah hasil rekam medis pembanding yang dia dapatkan dari rumah sakit di Singapura dan Australia. Menurutnya, rekam medis pembanding tersebut mengatakan bahwa kesalahan ini dikarenakan adanya human error, bukan karena adanya kencing manis dan sebagainya, seperti keteranga ahli yang disampaikan ahli dari Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) cabang Surabaya sewaktu diperdengarkan pada agenda sidang di PN Surabaya.

“Waktu itu, ahli dari PERDAMI secara tegas mengatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Moestidjab telah sesuai dan tidak melanggar kode etik. Namun keterangan ahli tersebut berhasil kita patahkan dengan hasil rekam medis pembanding yang saya dapatkan dari rumah sakit di Singapura dan Australia. Rekam medis pembanding tersebut mengatakan sebaliknya, bahwa kesalahan ini dikarenakan adanya human error, bukan karena adanya kencing manis dan sebagainya, seperti yang disampaikan ahli sebelumnya,” kata Eduard Rudy yang menjabat sebagai Ketua bidang hukum dan HAM DPP KAI ini.

Sebaliknya tambah Eduard Rudy, dalam rekam medis pembanding yang diterima disebutkan bahwa dokter Moestidjab memukul lapisan katarak terlalu keras sehingga tembus kebawah masuk ke kornea mata. Kemudian luka tersebut kemasukan kotoran dari katarak, ditutup pendarahannya tanpa dibersihkan lebih dulu dengan alasan alat yang mereka punya belum lengkap, makanya dirujuk ke rumah sakit Graha Amerta dengan alasan peralatannya lebih lengkap.

“Ini menjadi bumerang bagi mereka, karena dua dalil tersebut berhasil saya patahkan. Saya katakan dengan bukti di internet bahwa mereka mengklaim peralatan klinik mereka terlengkap se Asia Tenggara. Selain itu juga saya katakan kalau tidak ada pelanggaran dan operasi berjalan baik kenapa ada kebutaan? Yang didalilkan mereka ada sakit bawaan, contoh kencing manis, itu adalah nonsense. Sebab, sebelum melakukan operasi pasti sudah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sampai beberapa hari diperiksa. Tidak mungkin seorang dokter yang sangat terkenal melakukan operasi tanpa melakukan chek up lengkap,” tambah Eduard Rudy.

Apalagi sambung Eduard Rudy, dari hasil translate rekam medis Rumah Sakit di Australia disebutkan prosedur awal dokter Moestidjab memukul itu sudah salah. Kemudian juga merujuk ke Rumah Sakit di Malaysia, yang mana dalam surat rujukan disebutkan bahwa Tatok Perwanto datang ke dokter Moestidjab dalam kondisi katarak yang sudah pecah atau sudah hancur.

“Itu sudah bohong, padahal kehancuran tersebut yang membikin ya dia. Harusnya dia menyatakan bahwa saya gagal melakukan operasi dan bukan malah memutarbalikkan fakta. Dan ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung yang menyatakan adanya perbuatan melawan hukum. Ingat ini perbuatan melawan hukum lho, bukan wanprestasi. Artinya ada dugaan malpraktek disini,” sambungnya.

Sementara anak korban yakni Elly Poerwanto sambil berurai air mata mengatakan bahwa ayahnya sangat terpukul dengan kejadian yang menimpanya. Saat ini, bisa dikatakan ayahnya dalam kondisi depresi dengan sering marah-marah.

“Bencana tersebut sangat berdampak bagi papa saya, badannya sekarang menjadi kurus, diajak pergi kemana-mana juga tidak mau padahal dulu dia gagah perkasa, bisa nyetir mobil sendiri. Anak-anaknya sudah berusaha ajak dia jalan-jalan, tapi sekarang tidak pernah mau,” kata Elly sambil berurai air mata.

Elly pun kembali berharap, ayah mereka bisa kuat seperti sedia kala baik secara fisik maupun mental. Dan dia menegaskan bahwa menang secara hukum dengan diberikan ganti rugi sebesar Rp 1,2 miliar ini pun tidak bisa mengembalikan kondisi ayahny seperti sedia kala.

Terpisah, kuasa hukum dokter Moestidjab yakni Sumarso saat dikonfirmasi menyatakan pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA tersebut. Sumarso merasa, kerugian immateriil yang harus dibayarkan kliennya sebesar Rp 1 miliar tidak jelas hitungannya.

“Kita akan ajukan PK atas putusan ini,” ujarnya.

Kasus ini bermula pada 28 April 2016. Saat itu Tatok Poerwanto datang ke Surabaya Eye Clinic, Jalan Jemursari 108, untuk mengobati penyakit katarak di mata kirinya. Waktu, Tatok ditangani dokter Moestidjab dan disarankan operasi. Namun, pascaoperasi, bapak tujuh anak ini tidak merasakan ada perubahan. Malahan mata kirinya makin sakit dan nyeri.

Kemudian Tatok disarankan operasi kembali oleh dokter Moestidjab. Pada operasi kali kedua ini tidak di klinik Mata Surabaya, tapi di Graha Amerta, RSUD dr Soetomo, Surabaya dengan alasan peralatan medis di sana (Graha Amerta) lebih lengkap. Tatok pun menjalani operasi kedua pada 10 Mei 2016.

Menurut Eduard Rudy, pada operasi kedua yang awalnya dijanjikan hanya berlangsung 30 menit ini, mendadak molor hingga lima jam. Anehnya lagi, usai operasi, Moestidjab tidak menemui pasien. Tapi menugaskan asistennya menyampaikan hasil operasi.

“Dokter itu berupaya bohong dengan meminta asistennya mengatakan operasi tidak dapat dilanjutkan. Karena ada pendarahan. Selain itu alat tidak memadai, jadi beliau angkat tangan,” ungkap Eduard.

Dugaan malapraktik terbongkar, saat pihak keluarga mendapat salinan rekam medis hasil berobat, kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani. Sebab pada operasi pertama, ada lensa mata yang robek serta pecahan kataraknya, ternyata bertaburan di mata pasien. (Han)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait