Tidak Adil, Mulyanto: Desak Jokowi Evaluasi Program Hilirisasi Nikel

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto mendesak Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan evaluasi komprehensif terhadap program hilirisasi nikel nasional.

Soalnya, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI yang membidangi Perindustrian dan Pembangunan itu menilai, manfaat dari seluruh rantai nilai program hilirisasi nikel saat ini tidak adil sebab hanya menguntungkan pihak investor asing.

 

Padahal janji Jokowi, jelas Mulyanto, Pemerintah akan memaksimalkan pendapatan negara dari kerjasama hilirisasi nikel.

Berdasarkan hitung-hitungan ekonom Faisal Basri, dari seluruh rantai nilai proyek hilirisasi nikel ini, Indonesia hanya mendapat keuntungan maksimal 10 persen. Sisanya atau 90 persen dinikmati investor asing.

 

Dalam jangka pendek belum terasa manisnya program hilirisasi nikel ini oleh masyarakat. Yang terasa masih pahitnya.  Misalnya, masyarakat tak bisa menikmati harga nikel internasional yang tinggi serta masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) yang ditengarai adalah para pekerja kasar dengan visa turis bukan visa pekerja.

Belum lagi ancaman pencemaran lingkungan dari pembuangan limbah proses pengolahan.

Padahal amanat konstitusi jelas, Negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dan kekayaan yang ada di dalamnya sebesar-besarnya untuk kemajuan dan kesejahteraan Rakyat Indonesia.
“Prinsip ini harus dilaksanakan Pemerintah saat bermitra dengan China termasuk yang terkait dengan hilirisasi nikel tersebut,” tegas Mulyanto dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Sabtu (31/7).

 

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menilai, sebenarnya hilirisasi nikel ini adalah program sangat bagus. Harapannya Indonesia dapat mengekspor barang jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan begitu, penerimaan Negara ikut meningkat.

Selain itu dengan pengoperasian industri smelter dapat menyerap banyak tenaga kerja lokal. Kenyataannya, hilirisasi yang terjadi menghasilkan nilai tambah yang rendah. Delapanpuluh persen produk yang dihasilkan industri smelter nasional baru sebatas bahan setengah jadi berupa feronikel yang berkadar rendah atau NPI.

Sementara hasil pengolahan berupa Stainless Steel (SS) hanya 20 persen.

“Sampai sekarang, bahan nikel murni untuk industri baterai belum ada. Karena itu, nilai tambah industri smelter ini hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tak 19 kali sebagaimana yang dijanjikan Pemerintah.”

Tadinya, kata Mulyanto, Indonesia berharap Tesla memilih tambang di tanah air untuk industri baterai, karena cadangan nikel negeri ini yang besar dan harga relative murah. Namun, faktanya berdasarkan hitung-hitungan bisnis riil, mereka lebih memilih mitra tambang nikel di Australia ketimbang kita,” ujar Mulyanto.

 

Mantan Sekretaris Kemenristek era Presiden SBY ini melihat saat ini yang aktif bicara hilirisasi nikel hanyalah Menteri Energi Dumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Koordinator (Menko) bidang Maritim dan Investasi (Marinves).

Menteri Perindustrian (Menperin) malah tidak menonjol perannya. Padahal hilirisasi ini terkait erat dengan industrialisasi.

“Pemerintahan Jokowi kurang kompak dalam program ini. Namanya saja hilirisasi nikel, tetapi dalam prakteknya masih tidak terlalu jauh dari hulu,” kata dia.
Karena itu, jelas Mulyanto, Pemerintahan Jokowi perlu mengevaluasi komprehensif soal ini.

“Kalau format hilirisasinya seperti ini, saya setuju dengan apa yang dikatakan ekonom Faisal Basri bahwa Indonesia hanya sekedar menjadi ekstensi proyek industrialisasi China.”

 

Mereka yang menikmati nilai tambah yang tinggi, karena harga nikel jauh lebih murah dari harga internasional; berbagai isentif dan kemudahan investasi termasuk soal TKA; serta akhirnya menerima bahan setengah jadi dengan harga murah dan terjamin sebagai bahan baku proyek industrialisasi mereka. Inikan mengenaskan. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait