Ini Jawaban Pemda Fakfak Soal Palang Kampus Polinef

  • Whatsapp

FAKFAK, beritalima.com – Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) dan Pertanahan menjawab tuntutan ganti rugi tanah hak ulayat Marga Weripih, yang mengakibatkan terjadinya pemalangan kampus Politeknik Negeri atau disingkat Polinef, Rabu (23/10/2018) pagi kemarin.

Kepala BLH dan Pertanahan Kabupaten Fakfak Abdul Rasak Ibrahim Rengen, SH. M.Si menjelaskan bahwa, Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak sesungguhnya berkeinginan untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanah ulayat marga Weripih, karena untuk pembangunan Politeknik Negeri Fakfak.

Namun menurut Rengen, akibat internal marga Weripih sendiri yaitu Lapende Weripi dan Mandor Weripih saling mengklaim memiliki tanah tersebut, sehingga Pemkab Fakfak memutuskan untuk tidak dilakukan pembayaran.

Dikatakannya, pemutusan pembayaran tanah itu setelah pertemuan marga Weripih di Kampung Tanama yang difasilitasi oleh Wakil Bupati Fakfak saat itu dijabat Drs. Donatus Nimbitkendik, M.TP.

“Proses Politeknik waktu itu dipercepat sehingga pemilik hak ulayat diminta biking pelepasan sebagai persyaratan pemenuhan politeknik tersebut, tetapi pada saat mau dilakukan pembayaran, tidak bisa karena, tidak ada kesepakatan dalam keluarga weripih sendiri, sehingga pemerintah daerah putuskan untuk tidak membayar tanah milik marga Weripih,”ujar Rengen via ponselnya siang tadi.

Karena, lanjut Rengen, tidak ada kejelasan dari marga Weripih, sehingga marga Rohrohmana dan Genuni serta beberapa warga asal Flores menyetujui untuk dilakukan pengukuran kemudian Pemkab Fakfak membayar dan diterbitkannya sertifikat tanah.

“Karena tidak ada kesepakatan dalam marga Weripih itu sendiri maka lokasi atau hak ulayat mereka tidak di sertifkatkan, karena Pemda tidak jadi beli, nah kemudian berjalan waktu sampai tahun ini, Andarias Genuni sudah meninggal baru mulailah mereka (marga Weripih,red) menuntut pembayaran ganti rugi, yang buntutnya pada pemalangan kampus Politeknik Negeri,”jelasnya.

Lebih lanjut Rengen menjelaskan bahwa, pada saat pemalangan, dirinya telah menghampiri mereka (marga Weripih,red) untuk menfasilitasi pertemuan dengan Pemerintah Daerah.

“Dalam pertemuan yang dihadiri juga pihak Politikenik Negeri itu, telah disepakati menyelesaikan tanah 5000 meter persegi dengan disepekati ganti rugi pembayaran kurang lebih 200 juta pada anggaran perubahan tahun ini yang telah kami ajukan ke BPKAD lalu tunggu proses sidang anggaran perubahan, namun sampai saat ini tidak ada anggaran perubahan tahun ini,”kata Rengen.

Rengen juga mengaku sangat erat hubungan komunikasi via Short Missage Service (SMS) maupun telpon via sulelar dengan Rustam Weripih, bahkan bertemu di Kantor BLH dan Pertanahan guna membicarakan soal pembayaran ganti rugi tanah tersebut.

“Melalui komunikasi bahkan pertemuan Rustam dengan saya mulailah berubah pikiran marga Weripi tidak mau menerima pembayaran tanah 5000 meter persegi, bahkan mereka mengklaim tanah mereka lebih diatas 1 hektar termasuk bangunan-bangunan kampus Politeknik,”kata Rengen.

Rengen sudah menyampaikan kepada Rustam Waripih bahwa, bisa mengaklain tanah lebih diatas 1 hektar manakala sertifikat yang diklaim oleh almahrum Andarias Genuni dibatalkan oleh pengadilan apabila gugat ke Pengadilan Negeri.

“Bahkan saya bilang ke mereka kenapa kamorang tidak cegah pada saat terjadi pengukuran tanah milik almahrum Andarian Genuni, jangan sampai pengukuran masuk ke kamorang punya hak ulayat, mereka dengan alasan bilang bahwa pemerintah daerah tidak jadi beli tanah mereka, sehingga mereka tidak terlibat dalam pengukuran itu,”jelas Rengen.

Karena tanah tersebut sudah ada sertifikatnya, maka Rengen menyarankan kepada marga Weripih agar menempuh jalur adat guna menghadirkan keluarga Genuni, juga Rohrohmana dan hadirkan juga saksi-saksi.

“Tempuh jalur adat itu bertujuannya guna berbicara betulkah keluarga atau marga Weripih punya tanah yang sudah diambil atau termasuk dalam sertifikat tersebut, nanti keputusan adat itu dibawa ke pengadilan. Misalnya dalam proses gugatan ke Pengadilan kemudian membatalkan sertifikat itu maka sudah tentu Pemerintah siap bayar,”jelasnya sembari mengaku marga Weripih sudah pernah menerima uang Rp 100 juta.

Terhadap persoalan ini, Rengen sudah menjelaskankannya ke Sekretaris Daerah (Sekda) sebagai atasanya, dan keluarga Weripi juga sudah pernah bertemu dengan Sekda.

“Hasil pertemuan dengan Sekda sama seperti saya jelaskan ke mereka, jadi bukan saya menghalangi mereka punya tuntutan, tetapi saya tidak mau bayar sesuatu yang sudah ada regulasi (sertifikat) lalu kemudian ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jadi tolong pahami itu baik-baik,”tandasnya. [monces]

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *