Politisi Senior PKS Nilai Perizinan Berusaha Sektor Migas Membingungkan

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan kebingungan pelaku usaha terkait klausul perizinan berusaha di sektor minyak dan gas bumi (migas) yang diatur dalam UU No: 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Hal ini, kata anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi, Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH) tersebut, penting untuk dituntaskan agar target lifting migas 1 juta barel per hari tak terbengkalai akibat investor mundur atau ragu atas ketidakpastian hukum di sektor migas ini.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu menilai isi pasal 5 ayat (1) dalam UU No: 11/2020 yang menyebutkan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat berbeda dengan isi pasal UU Migas yang saat ini masih berlaku.

“Isi pasal ini membingungkan, karena pada prakteknya kegiatan usaha hulu migas diatur melalui mekanisme kontrak kerja sama baik melalui skema cost recovery maupun gross split. Kalau melalui UU Omnibus Law Ciptaker pengaturan kegiatan usaha hulu migas ini mendadak diubah menjadi mekanisme perizinan, tentu menyebabkan kebingungan bagi pelaku usaha migas. Sampai hari ini masih berlaku rezim ‘kontrak kerja sama’ antara pelaku usaha hulu migas dengan pemegang kuasa migas melalui SKK Migas. Bukan rezim perizinan.”

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut menegaskan Pasal 1 angka (19) UU. No: 22/2001 tentang Migas yang mengatur ketentuan Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, masih berlaku.

Termasuk, kata Mulyanto, PasaI 6 ayat (1) yang mengatur ketentuan, bahwa Kegiatan Usaha Hulu sebagaimana dimaksud dalam PasaI 5 angka 1 dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 19.

Berbeda halnya dengan pertambangan mineral dan batubara (minerba), melalui UU No: 4/2009 tentang Minerba jo. UU No:3/2020 ‘rezim kontrak’ telah diubah menjadi ‘rezim perizinan’ yang memuat segala pengaturan rinci terkait perizinan tersebut, termasuk pasal peralihan dari kontrak karya menjadi mekanisme perizinan.

“Pemerintah jangan serampangan menyamakan semua nomenklatur pengaturan usaha migas dalam terminologi Perizinan Berusaha. Karena hakekat ‘kontrak kerja sama’ dengan ‘perizinan’ sangat berbeda. Yang pertama menempatkan antar pihak secara sejajar, sedangkan yang kedua menempatkan pihak pemberi izin lebih tinggi dari penerima izin.”

Menurut doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang tersebut, ini perlu diperjelas duduk perkaranya dalam rencana Revisi UU. No. 22/2001 tentang Migas untuk memberi kepastian hukum bagi para investor. (akhir)

 

 

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait