PP Statuta UI Terbaru Buka Ruang Rektor Rangkap Jabatan, Jazuli: Akal-akalan

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Di tengah polemik rangkap jabatan Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro sebagai Wakil Komisaris Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang bertentangan dengan Statuta UI, Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di luar dugaan justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Statuta UI yang baru (PP 75/2021-red).

Dalam bleid baru tersebut terdapat perubahan aturan yang sebelumnya rektor dan pejabat kampus lainnya dilarang merangkap sebagai pejabat pada BUMN/BUMD maupun swasta, kata “pejabat” diubah menjadi ‘direksi’. Itu artinya rektor UI bisa menjabat sebagai komisaris.

 

Dalam padangan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Jazuli Juwaini, PP tersebut seperti menantang pengkritik praktek rangkap jabatan rektor UI yang melanggar statuta UI. Rupanya praktek yang sama juga berlaku di beberapa kampus.

“Belum jelas ujung pangkal kritik tersebut, pemerintah justru membuka ruang praktek rangkap jabatan komisaris dengan menerbitkan PP Statuta UI yang baru. Ini kan namanya akal-akalan aturan. Dimana etikanya?,” kata Jazuli dalam keterangan pers yang diterima Beritalima.com, Rabu (21/7) siang.

Wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Banten ini menilai, PP Statuta UI yang baru merupakan preseden buruk bagi independensi akademik. “Rangkap jabatan rektor dengan jabatan yang tidak ada kaitan dengan dunia akademik merusak upaya memajukan pendidikan tinggi,” kata Jazuli.
Jangankan dari sudut independensi, ungkap anggota Komisi I DPR RI itu, secara teknis sudah pasti kerja Rektor dengan beban tanggung jawab yang begitu berat menjadi tidak fokus, kecuali memang ada motif rente dan politis dibalik rangkap jabatan tersebut.

 

“Alih-alih mengejar kualitas akademik dan menjadikan kampus UI sebagai universitas kelas dunia atau world class university, rangkap jabatan Rektor justru menjadi sumber masalah dan merusak upaya memajukan kualitas pendidikan. Bagaimana kampus-kampus kita bisa maju kalau begini prakteknya?,” ungkap Jazuli.

 

Apalagi kita tahu, lanjut politisi senior ini, jabatan Komisaris BUMN di negeri ini kadung identik dengan kepentingan politik sebagai balas jasa dan oligarki penguasa. Menjadikan Rektor atau pejabat kampus hanya akan menyeret kampus pada kepentingan politik sempit yang akhirnya bias kepentingan dan sudah pasti mengancam independensi akademik.

“Kalau sudah begitu, dunia akademik tidak bisa leluasa alias ‘ewuh pakewuh’ mengkritik pemerintah. Sebaliknya pemerintah merasa bisa mengontrol kampus termasuk dalam hal kebebasan berpendapat di dunia akademik,” kata Jazuli.

Contohnya jelas, seperti yang terjadi pada BEM UI–dan juga BEM di beberapa kampus–yang dipanggil dan diperingatkan rektorat karena sikap kritisnya pada Presiden dan pemerintah. “Janganlah pemerintah justru melanggengkan praktek yang mundur dalam demokrasi dan akademik ini,” kata Jazuli.

 

Pada sisi pengelolaan BUMN yang profesional, menurut Jazuli, praktek rangkap jabatan ini jelas merugikan. Jabatan BUMN dijadikan sampingan atau objek kepentingan sehingga pantas saja BUMN kita banyak yang merugi dan tidak maju-maju.

 

“Masa iya dari 270 juta rakyat tidak ada yang mampu menjadi Komisaris BUMN yang bisa bekerja fokus tanpa harus dirangkap oleh beberapa pejabat lain. Faktanya, saat BUMN banyak yang merugi harusnya disikapi dengan mencari orang yang tepat, yang bisa fokus dan konsentrasi mengurus BUMN agar tidak rugi terus,” demikian Dr Jazuli Juwaini. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait