Sebut Pendemo Sampah Demokrasi, Pengamat: Ali Mochtar Ngabalin Harus Minta Maaf

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Tidak layak dan sangat tidak pantas pendemo yang menolak Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) sebagai sampah demokrasi. Apalagi, ucapan tersebut keluar dari mulut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Mochtar Ngabalin yang nota bene adalah pejabat negara.

Hal itu diungkapkan pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Kamis (15/10) pagi terkait dengan ucapan politisi Partai Golkar tersebut beberapa hari lalu yang viral di media massa dan youtube tersebut.

Ya, seperti diberitakan media massa, kaum buruh, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Organisasi Masyarakat (Ormas) baik itu keagamaan seperti Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), petani dan masyarakat lainnya menolak kehadiran UU Ciptaker yang disahkan Rapat Paripurna DPR RI, Senin (5/10).

Mereka menilai, kehadiran UU Ciptaker tersebut hanya menguntungkan para investor dan segelintir elite yang ada dalam Pemerintahan Jokowi tetapi sangat merugikan ratusan juta rakyat Indonesia.

Bahkan masyarakat bisa dikatakan sudah jatuh tertimpa tangga karena dalam kondisi ekonomi sulit dan ditambah adanya wabah pandemi virus Corona (Covid-19), mereka kini dihadapkan pula dengan UU Ciptaker yang merugikan rakyat terutama kaum kecil.

Seharusnya, ungkap laki-laki yang akrab disapa Jamil ini, sebagai orang terdidik, Dia harusnya merepresentasikan sosok presiden yang santun dalam bertutur kata, sabar, dan tidak meledak-ledak. Dan, yang dipertontonkan Ali Muchtar Ngabalin ini bukanlah tipikal dan cerminan Presiden Jokowi.

“Keberadaan Ali Muchtar Ngabalin hanya merusak Citra Jokowi yang selama ini dikenal sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara yang dekat dengan rakyat. Karena itu, penempatan Ali Mochtar Ngabalin sebagai tenaga ahli utama sungguh tidak tepat.”

Kehadiran Mochtar Ngabalin di KSP, jelas pengajar mata kuliah isu dan krisis manajemen, metode penelitian komunikasi dan riset itu justru menjadi beban, bukan problem solver bagi Presiden Jokowi. “Tipikal Presiden Jokowi bertolak belakang dengan Tipikal Mochtar Ngabalin,” jelas dia.

Selain itu, kata dia, Ali Muchtar Ngabalin juga bagaikan kacang lupa kepada kulitnya. Bagaimana tidak! Ali Muchtar Ngabalin juga berangkat dari orang kebanyakan. Dia lahir di salah satu dusun di Fakfak, Papua. Semasa muda atau dibangku kuliah, yang bersangkutan juga sebagai seorang aktivis.

Pada 2004-2009 terpilih sebagai wakil rakyat dari Partai Bulan Bintang. Gagal merebut kursi orang nomor satu di partai berbasiskan agama itu, dia hengkang ke Partai Golkar. Pada pemilu legislatif 2014, Ali Muchtar Ngabalin gagal meraih tiket ke Senayan. “Jadi, saya heran kenapa dia berubah setelah berada dalam kekuasaan. Padahal, dia orang terdidik tapi dari ucapannya, Ali Muchtar Ngabalin jauh dari dikatakan orang terdidik.”

Lebih jauh, penulis buku buku Tipologi Pesan Persuasif dan Perang Bush Memburu Osama ini mengatakan, pernyataan Ali Muchtar Ngabalin yang menyebut peserta unjuk rasa sebagai sampah demokrasi tidak sejalan dengan paham demokrasi.

Sebab, unjuk rasa atau demonstrasi bukan perbuatan tercelah. Unjuk rasa sebagai salah satu sarana untuk menyampaikan pendapat yang dibenarkan dalam demokrasi. Unjuk rasa juga hak demokrasi setiap warga negara Indonesia yang dijamin dalam UUD. Tiap warga negara punya hak bicara, termasuk melalui demonstrasi.

“Jadi, siapa pun termasuk juru bicara presiden tidak boleh melarang dan menghina orang yang demonstrasi. Seharusnya Ali Mochtar Ngabalin paham tentang hal itu.Karena itu, sepantasnya Mochtar Ngabalin meminta maaf secara terbuka kepada para pedemo karena ucapannya itu sudah merupakan penghinaan terhadap orang yang yang menggunakan hak demokrasinya,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait