Simposium Nasional, Ketua MPR RI Sebut Indonesia Terjadi Kesenjangan Sosial

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com – Simposium Nasional dengan tema “Menghormati Keberagaman Menjaga Persatuan dan Keaatuan Bangsa,” Senin (11/12/2017) di Nusantara IV, Gedung MPR RI, Senayan, Jakarta.

Kegiatan yang dilaksanakam atas kerjasama antara MPR RI dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara – Hukum Administrasi Negara, hadir diantaranya adalah! Prof. Dr. Hj. R. Siti Zuhro, MA Pengamat Politik LIPI, Prof. Dr. Mahfud MD, SH.,SU, dan Ketua MPR RI Dr. (HC) Zulkifli Hasan, SE., MM

Zulkifli Hasan dalam sambutannya menyatakan, terjadi kesenjangan antara pusat demgan daerah, padahal semuanya adalah NKRI. Namun dijelaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, disebutkan persoalan kesejahteraan sosial, Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Namun dalam faktanya sekarang ini, izin tambang yanv berhak Bupati/Walikota karena yang punya wilayah bukan oleh Gubernur dan Presiden. Oleh karena itu muncul kekecewaan-kekecewaan dari masyarakat setempat.

Hal lain persoalan kemajemukan, dijelaskan Mudji Sutrisno SJ Guru Besar STF Driyarkara & Dosen Pasca Sarjana Universitaz Indonesia, Budayawan. Dalam paparannya pertama menjelaskan Keragaman suku, identitas budaya lokal religi yang aneka merupakan sumber mata air daya hidup bangsa lndonesia. Kemajemukan itu bahkan secara proses kebudayaan diberi kata kunci kebhinekaan dalam antagonismenya dengan keikaan.

Kedua, mengambil pemikir sosialitas hidup bersama yang manusia dari religi (wujud sosial dari religiositas: keimanan) memberi acuan sumber keunikan manusia dari tafsir Kitab Suci. Manusia adalah citra (gambar) unik dari Allah. Yang pria adalah citra agung Allah, sedang yang perempuan adalah citra ayu Allah. ini pandangan Kristiani. Sementara saudara-saudari Muslim menegaskan manusia adalah khalifatullah Allah di dunia ini. Pokok renung ini berpendapat bahwa perbedaan dan keunikan manusia merupakan jati dirinya.

Ketiga, Kemajemukan dan keikaan ketika diformat menjadi jalan politik, maka praktek menomersatukan politik macam apa dan politik makna apa akan menjadi ujiannya. Politik sebagai usaha dan ikhtiar untuk membuat tata hidup bersama lebih berharkat dalam anggota-anggota masyarakatnya pasti akan memuat etika sebagai acuan yang baik, yang benar dan yang suci serta yang indah dari kehidupan ini untuk menjadi rambu-rambu pelaksanaan atau laku politik itu. inilah politik yang beretika yang sebenarnya kita pantas bersyukur atau berbahagia karena para pendiri bangsa sudah memberikan dasar-dasarnya dalam proses dari bangsa majemuk ke negara kesatuan.

Keempat, mengenai epilog, ketika jalan politik pada titik ekstrimnya sudah membuat sesama warga dipecah-belah sebagai kerumunan musuh atau lawan di kelompok ‘mereka’ dan sebagai kawan di kelompok ‘kami’, maka jalan budaya menjadi renung jalan rekonsiliasinya apabila keragaman dijaga dan dihormati. Namun, jaman rejim penyeragaman ekstrim pun kita alami kerena politik penyeragaman meniadakan kerjasama hingga bhineka dilupakan. dedy mulyadi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *