Anis Matta Optimis Judicial Reveiw Pemisahan Pileg dan Pilpres Bakal Diterima MK

  • Whatsapp

Jakartal – Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Anis Matta menegaskan judicial review yang diajukan Partai Gelora ke Mahkamah Kostitusi (MK) mengenai pemisahan antara Pemilu Legislatif (Pileg) dengan Pemilihan Presiden (Pilpes) beberapa waktu lalu, bagian dari pematangan proses demokrasi.

“Tujuan kita untuk kepentingan bangsa, seperti melakukan pematangan demokrasi secara terus-menerus dengan melakukan perbaikan pada prosedur secara berkesinambungan,” kata Anis Matta dalam Gelora Talks “Menakar Pileg dan Pilpres 2024 Digelar Terpisah (Kembali?): Mungkinkah?, Rabu (8/6/2022) sore.

Sehingga demokrasi prosedural, lanjut Anis Matta, mengalami reformasi dan perubahan secara sistematis menuju demokrasi kualitatif dengan menghasilkan output yang diharapkan oleh penyelenggara Pemilu.

“Saya melihat tidak ada kendala waktu yang terlalu berlebihan di sini, jika Pileg dan Pilpres kembali dipisah. KPU tidak akan merubah banyak secara teknis, karena proses pencetakan kertas suaranya kan tidak dilakukan sekarang,” ujarnya.

Proses pencetakan suara, menurutnya, baru dilakukan apabila proses verifikasi data pemilih, data calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) semuanya selesai.

“Jadi sebenarnya, kalau MK mengambil keputusan sekarang masih ada kelonggaran waktu, sehingga KPU bisa melakukan adaptasi terhadap keputusan tersebut,” katanya.

Anis Matta yakin gugatan Partai Gelora bakal dikabulkan MK dan proses persidangannya bisa berlanjut. Sebab, secara teknis MK tidak akan mengubah keputusannya soal makna keserentakan, apabila mengabulkan gugatan Partai Gelora, karena Pemilu Serentak tetap dilakukan pada tahun yang sama

“Pemilu 2024 menandai reformasi kita telah 26 tahun bergulir, banyak proses pembelajaran demokrasi kita. Pemilu 2019 adalah pemilu yang terburuk sepanjang masa sejak Pemilu 1955, karena inilah pemilu dengan korban yang paling banyak,” katanya.

Anis Matta lantas mempertanyakan, tujuan dari pelaksanaan pesta demokrasi yang seharusnya membawa manfaat bagi rakyat, tetapi justru jadi ajang takziah kematian rakyatnya.

“Bagaimana mungkin kita menyelenggarakan satu pesta, tapi berujung takziah. Nah, kira-kira apa ini tujuan besar kita? Jadi kenapa kita melakukan judicial review, karena kita percaya hakim-hakim MK akan memandang hal ini secara bijaksana,” katanya.

Partai Gelora tidak akan menekan MK agar mengabulkan gugatan yang diajukannya. Sebab, kekuatan utama dari gugatan yang diajukan Partai Gelora adalah terletak pada rasionalitasnya itu sendiri.

“Rasionalitasnya sendiri itu alasan utamanya, kita tidak perlu menekan mereka (hakim konstitusi MK, red). Itu menurut saya yang akan menjadi alasan mengapa, Insya Allah gugatan ini akan diterima,” tegas Anis Matta.

Komisioner KPU Tahun 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengatakan, Pemilu Serentak membuat penyelenggaraan pemilu tidak sederhana dan menjadi begitu besar. Karena ada pemilu di tingkat pusat (DPR), di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (DPRD), Anggota DPD RI, serta Pilpres.

“Ini membuat pemilihan itu menjadi sangat besar seperti tampak jelas di penyelenggaraan Pemilu Serentak pertama kali di 2019. Sistem pemilihan kita sangat rumit, penggabungan itu bukan pekerjaan mudah, punya tantangan yang sangat besar,” kata Hadar Gumay.

Hadar Gumay menilai penggabungan Pemilu tidak perlu dipertahankan, karena tidak cocok dengan situasi sosial budaya politik Indonesia yang sangat beragam, selain soal beban kerja yang sangat berat.

“Kita tidak cukup berhenti dan mengatakan, telah sukses tingkat partisipasi saja. Tetapi buat masyarakat, penggabungan Pemilu itu memilih calon yang mempunyai integritas tinggi,” katanya.

Pemilu Serentak 2019 lalu, kata Hadar Gumay, justru mengungkapkan sebuah fakta adanya kesalahan dan ketidaksahan suara yang tercoblos sangat tinggi mencapai 11 persen atau sekitar 17 jutaan.

Angka tersebut, bukan angka yang kecil dibandingkan dengan negara lain, yang paling tinggi pada kisaran angka 6 persen.

“Kesalahan tersebut akibat publik lebih merespon Pilpres ketimbang Pileg. Penyelenggara Pemilu sendiri juga tidak terlalu menyadari itu dengan memberi ruang-ruang lebih untuk Pilpres ketimbang Pileg. Yang menonjol yang tereskpos di masyarakat adalah Pemilihan Presiden, sehingga Pemilu Legislatif terlupakan,” jelasnya.

Selain itu, pengadaan logistik Pemilu juga menjadi tidak mudah karena memiliki batas waktu dan mesti diadakan dalam masa berkampanye. Padahal pengadaan logistik untuk Pileg membutukan waktu yang lebih panjang dibandingkan Pilpres.

“Karena itu, Pemilu Legistifnya jauh lebih rumit dibandingkan Pemilihan Presiden maka sebaiknya dipisah, tidak digabungkan. Pilpres bisa digelar dua bulan setelah Pileg, ini pengalaman kita dulu,” katanya.

Hadar Gumay menegaskan, dirinya tidak terlalu bangga dengan sistem Pemilu Serentak saat ini, karena banyak hal-hal yang tidak pas diterapkan seperti kasak-kusuk yang dilakukan partai politik tertentu menjelang Pemilu 2024.

“Padahal situasi politik 5 tahun lalu, dengan situasi sekarang sangat mungkin berbeda di 2024. Mereka bisa tidak terpilih lagi, tapi sudah membuat koalisi-koalisi. Jadi mohon maaf, hal seperti ini tidak perlu diteruskan,” katanya.

Pelaksanaan Pemilu Serentak saat ini, dalam pandangannya tidak mencerminkan sistem presidensil yang mendapatkan dukungan kuat dari legislatif. Sebaliknya, situasi sekarang menjadi anomali dan kontra produktif di publik dan ketatanegaraan.

“Sepengetahuan saya di Korea Selatan, Prancis maupun negara lain di dunia, siklus Pemilu 5 tahunan itu tidak dibangun dari suara 5 tahun lalu, tetapi berdasarkan survei atau suara terdekat. Ini hanya terjadi di Indonesia, makanya saya tidak begitu bangga dengan Indonesia, dan harus saya katakan itu. Menurut saya, itu bertentangan dengan konstitusi,” tegas Hadar. (ar)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait