Bu Noto, Jokowi, dan Politik Indonesia

  • Whatsapp
EKO SULISTYO

Eko Sulistyo

Bu Noto, demikian saya biasa memanggil ibunda Presiden Jokowi ini. Sosok perempuan Jawa sederhana yang giat pengajian dan kegiatan sosial. Nama lengkapnya, Hj. Sudjiatmi Notomihardjo, lahir pada 15 Februari 1943 dan wafat 25 Maret 2020 dalam usia 77 tahun.

Almarhumah adalah sosok yang sangat penting dalam kehidupan pribadi Presiden Jokowi. Sebagai ibu, almarhumah tidak hanya memiliki andil besar dalam pembentukan karakter pribadinya, tapi juga pelindung moral bagi keluarga. Tidak heran jika dalam momen-momen tertentu seperti saat maju Pilkada Solo, Pilgub DKI, dan Pilpres, doa restu ibunya diyakini akan mengantarkan kesuksesan karir politik putranya.

Di pagi buta sehabis sholat subuh, saya saksikan sendiri bagaimana Presiden Jokowi yang saat itu calon gubernur DKI Jakarta 2012, di sebuah rumah di Gang Arab, memohon doa restu pada ibunya sebelum berangkat menuju rumah Megawati di Kebagusan, saat pencoblosan. Dengan bersimpuh (sungkem), sang putra memohon doa restu untuk diberikan kekuatan memenangkan Pilgub DKI Jakarta yang keras saat itu. Setelah berdoa, kata-kata “aku restui” dan “yang kuat, yang sabar”, menjadi penutup kalimat ibunya sebagai tanda permintaannya telah direstui sambil mencium kening putranya.

Dalam tradisi keluarga Jawa, juga kebudayaan Indonesia lainnya, doa restu orang tua menjadi kekuatan tersendiri bagi seorang anak untuk meraih tujuan tertentu dalam perjalanan hidupnya. Permohonan doa restu orang tua adalah salah satu prosesi sakral dalam kebudayaan Jawa. Karena itu, pemberian restu orang tua dipercaya akan melancarkan keinginan dan tujuan sang anak.

Dalam konteks ini, posisi almarhumah menjadi sentral dalam kehidupan politik Presiden Jokowi. Dunia politik yang penuh dengan intrik dalam meraih kekuasaan, terlalu bias gender dan cederung melupakan peran seorang ibu (perempuan). Saya masih ingat saat Pilkada DKI Jakarta 2012, seorang musisi terkenal tanah air harus meminta maaf kepada ibunda Presiden Jokowi karena kekeliruan peryataannya dengan menyebut almarhumah non-muslim.

Pada kesempatan lain, saya pernah mengantar seorang tokoh politik nasional ke kediaman almarhumah untuk meminta maaf karena pernah melontarkan peryataan bahwa keluarga Jokowi adalah PKI. Bahkan ia juga mengakui saat Pilpres 2014 di wilayah Jawa Timur, dialah yang mengkampanyekan Jokowi adalah PKI. Tapi dihadapan almarhumah, saya menyaksikan tokoh politik tersebut bersimpuh mohon dimaafkan atas perbuatannya yang salah saat itu.

Reaksi almarhumah kemudian menepuk-nepuk pundak tokoh politik tersebut seperti lagi memaafkan anaknya sendiri, sambil berkata “sebagai manusia saya sudah maafkan, mintalah ampunan yang di atas.” Dalam konteks ini, dunia politik yang keras dan kadang diwarnai kebencian, menjadi cair dan penuh kekeluargaan dihadapan perempuan sepuh yang sederhana ini.

Pemberi Semangat

Seperti pernah disampaikan Presiden Jokowi saat peringatan Hari Ibu dua tahun lalu, almarhumah adalah sosok ibu yang tidak hanya telah menuntun moral ahlaknya, tapi juga pendidikannya. Ibunya selalu memberi semangat dan optimisme pada dirinya. Ketika usahanya bangkrut, Ibunyalah yang menguatkan untuk terus berikhtiar.

Sebagai orang tua dengan empat orang anak yang telah ditinggal wafat suaminya, tentu almarhumah adalah pribadi yang kuat dan tegar dalam menggapai hidup. Kekuatan inilah yang menjadikan almarhumah ibarat jangkar keseimbangan sosial dan emosional bagi diri dan keluarga.
Tidak heran, sejak mejabat Gubernur DKI Jakarta, Presiden Jokowi membiasakan tiap hari menelpon ibunya yang berada di Solo.

Tidak sekedar menanyakan kabar, tapi juga memberinya kekuatan moral dalam menghadapi permasalahan yang sedang dijalani. Tentu, di tengah permasalahan bangsa yang pelik saat ini, terutama soal pandemi Corona, dipanggilnya almarhumah menghadap Sang Khaliq, menjadi kepedihan yang mendalam bagi Presiden Jokowi dan keluarga yang ditinggalkannya.

Dalam perjalanan karir politik Presiden Jokowi, sosok ibunya tidak hanya memberikan bimbingan moral, tapi juga perlindungan spiritual. Tentu selain doa, almarhumah juga terjun langsung bersama para pendukung Jokowi saat Pilpres 2019 lalu, terutama kampanye di wilayah Solo dan sekitarnya. Almarhumah, yang biasanya didampingi kedua putrinya, betah duduk sambil melayani foto dengan para relawan Jokowi hingga acara berakhir.

Kediaman almarhumah juga tidak pernah sepi dari aktifitas pengajian ibu-ibu kampung. Semasa hidupnya, almarhumah selain memiliki kelompok pengajian sendiri, juga aktif di pengajian An Nahl yang diketuai salah satu putrinya, mbak Titik. Selain itu, almarhumah aktif di pengajian Khoirunnisa yang diketuai menantunya, Ibu Iriana—Ibu Negara, istri Presiden Jokowi.

Menurut penuturan teman saya yang menjadi tetangga, biasanya setiap menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri, almarhumah bersama putri-putrinya selalu sibuk mempersiapkan agenda buka bersama di masjid kampungnya dan pembagian THR untuk warga. Almarhumah juga aktif di komunitas senam Gita Ketawa, pada setiap minggu pagi di lapangan Manahan, Solo. Selain juga dikenal sering menghadiri kegiatan dan hajatan sosial di kampung.

Perempuan Sederhana

Saya bersaksi bahwa almarhumah adalah orang baik. Almarhumah adalah orang tua sederhana yang sering berbagi kepada sesama. Saya mengenal almarhumah sejak Presiden Jokowi menjabat Walikota Solo pada 2005.

Saat masih aktif di Kantor Staf Presiden (KSP), jika bertemu almarhumah di Solo pasti ditanya kapan kamu balik ke Jakarta, mampir ke rumah. Biasanya saya akan dititipi makanan (snack) yang sudah dimasukan dalam kardus buat saya dan untuk dibagi teman-teman di kantor. Pernah juga dititipi krupuk karak bikinan almarhumah sendiri untuk Bu Moeryati Soedibyo dan Pak Moeldoko Kepala Staf KSP. Juga pernah untuk Pak Luhut saat masih menjabat Kepala KSP.

Pernah suatu kali, ada cerita menarik saat almarhumah mengundang saya ke kediamanya. Kata ajudan beliau, kalau Pak Eko di Solo bisa ke kediaman ditimbali Eyang Noto. Sampai di kediaman, saya kaget karena barang titipannya kali ini lain dari biasanya. Satu kardus durian untuk disampaikan ke presiden di istana.

Saya sampaikan, bu durian tidak bisa dibawa di bagasi pesawat. Nanti pilot dan penumpangnya protes dan saya bisa dimarahi pramugrarinya karena bau durian. Mendengar alasan saya ini, beliau malah bilang, “yo wis gawanen kanggo koe wae” (ya sudah buat kamu saja). Benar-benar saya dapat durian runtuh saat itu.

Itulah sekilas kesan saya terhadap almarhumah selama ini. Sosok perempuan Jawa sederhana yang tidak banyak bicara dan tidak menonjolkan harta yang dimiliki—yang dalam bahasa Jawa disebut “prasojo” dan “andhap asor”. Karena dalam padangan manusia Jawa, derajat dan harga diri seseorang ditentukan oleh perilaku baik yang disebut budi pekerti.

Dalam konteks ini, amarhumah tidak hanya berhasil dalam wujud pengendalian diri, termasuk puasa Senin-Kamis yang juga dilakoni Presiden Jokowi, tapi juga sukses mengantarkan anak-anaknya. Dan ibu yang telah melahirkan seorang pemimpin (presiden), pada dasarnya adalah perempuan “terpilih” yang telah melewati ujian hidup dan kematangan pribadi.

Selamat jalan, Bu Noto. “Sugeng tindak” menuju alam keabadian.

————–
Penulis adalah Sejarawan, Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait