Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Sensasional Pengadilan Ahok’

  • Whatsapp

Sensasional Pengadilan Ahok

Akhir dari sebuah drama 4 Nopember 2016 kemarin lalu itu, Ahok harus diadili. Habib Rezieq minta gelar perkara. Lainnya minta Ahok langsung dihukum. Kendati ada teriakan dan baliho yang jauh lebih ekstrem dari itu, rasanya kurang layak dibicarakan di sini.

Termasuk kerusuhan kecil di depan Istana Negara dan Penjaringan, tentunya tidak perlu dipanjang-panjangkan, yang menurut sebagian pendapat itu kesalahan kecil dari beberapa demonstran. Sementara, sebagian yang lain, inilah drama-permainan aparat kepolisian, karena memang aturan aksi demo itu sampai pukul 18.00 WIB. Kita mungkin bisa bersepakat bahwa akar masalah karena sentilan Ahok. Namun sebagian kecil orang, malah membela Ahok, katanya tidak satu pun kalimat yang keluar dari mulut Ahok yang menista Agama Islam atawa Alquran. Kepolisian pun merasa tertekan karena begitu kuat desakan dari banyak pihak.

Jika Anda bertanya: apakah perwakilan demonstran kecewa dengan hasil kemarin, jawabnya tentu ‘iya’. Bukan karena tiba-tiba Ahok hari itu tidak jadi diseret, tidak jadi dijebloskan ke bui, atau tidak jadi digantung sampai mati, atau gagal dicambuk, dan seterusnya. Bukan karena ketidakhadiran Ahok yang membuat mereka kecewa. Tetapi, karena Pak Jokowidodo, yang dalam hal ini, sebagai Bapak Presiden para demonstran, malah ogah menemui mereka. Beliau, kata yang menyebar di media, menghadiri acara lain, melihat secuil pembangunan yang masih wilayah daerah Jakarta. Bapak dari Solo itu malah mengutus Wakil Presiden dan beberapa orang menteri. Padahal, perwakilan demonstran itu sudah pamit dan memberitahu jauh hari sebelum tanggal 4 kemarin. Artinya, Pak Jokowi itu sudah tahu akan kedatangan tamu ratusan ribu, bahkan jutaan orang ke istananya.

Penistaan memang jauh berbeda dengan tindak pidana lainnya. Ada kalimat yang membuat orang lain nista ketika mendengarnya. Kira-kira itu yang membuat Pak Sakerah pusing lebih dari tujuh keliling. Jika jadi digelar di Pengadilan, pikir Sakerah, sidangnya jauh lebih panjang dari kasus Jessica, kopi sianida itu. Ada sejumlah ahli yang harus didatangkan. Ada sekarung barang bukti yang akan diangkut ke meja hakim. Ada sejumlah jenis komentar yang nyleneh-nyleneh dari berbagai pakar. Ada satu pleton polisi yang selalu siaga di ruang sidang. Dan selusin wartawan yang jepretan-nya akan mengganti lampu neon seribu watt.

Sekali lagi, tesis di atas yang membuat Pak Sakerah tidak bernafsu makan. Dalam hitungan hari, berat badan Pak Sakerah bisa turun sampai lima kilo. Dan setiap jam berpikir tentang itu, uban di kepala Pak Sakerah bertambah selembar. Jika berhari-hari memikirkan kasus yang menimpa Ahok itu, warna kumis tokoh fenomenal itu tidak akan pernah kembali hitam.
“Perlu Gus Dur lagi, Bang,” begitu Komat memberi saran. Entah guyon atau serius saran karibnya itu. Bisa mungkin, sedikit mengejek Pak Sakerah yang kadang ikut nyleneh layaknya Gus Dur. Ia memang butuh orang yang bisa diajak berdiskusi, atau bahkan mujadalah dalam situasi yang serba tak sempurna ini. “Jadikan Gus Dur sebagai hakim tunggal. Gitu saja kok repot, Bang!” terkikik Komat berkata.

Dalam imajiner dini hari, bersama kedua orang rekannya, si Komat dan Kamit, mendatangi Gus Dur. Mereka berfikir, jika menunggu sidang yang sesungguhnya tentu jalannya berliku dan panjang. Padahal menurut pikirannya, masyarakat buru-buru ingin tahu duduk persoalan yang menimpa umat Islam Indonesia atau Ahok sendiri. Tentu ingin tahu, apakah Ahok akan dibui karena bersalah, atau bebas bersyarat.
Ia mengundang Ahok dalam sebuah Pengadilan yang ia bentuk sendiri. Ada saksi-saksi ahli sebagaimana usul Komat: saksi ahli bahasa, dengan mengundang JS Badudu dan Gores Keraf. Beberapa orang mufassir, seperti Imam Nawawi al-Banteni, Buya Hamka, dan Ibnu Katsir. Juga tokoh agama seperti KH. Mas Mansyur dari kalangan Muhammadiyah, dan KH. Bisri Syamsuri dari Denanyar mewakili NU.

Kamit ikut mengusulkan si Pitung, tokoh silat Betawi aliran Cingkrak, dan Babe Sabeni, pendiri silat aliran Sabeni. Tidak lupa juga ia mengusulkan tokoh MUI, Kiai Hasan Basri. Pakar politik, atau lebih keren pengamat politik dari UGM, Affan Gafar, orang yang terlibat langsung penyusunan model Pemilu yang dipakai sampai sekarang. Jika memang diperlukan, mereka harus mendatangkan Pak Kapolri Hoegeng, polisi yang menyisakan kebaikan di tubuh penegak hukum itu. Ada Jaksa Agung Soeprapto dan Baharudin Lopa. Juga Ketua Mahkamah Agung Kusumah Atmadja dan Soerjadi. Tidak lupa mereka mengundang tokoh keturunan China yang diwakili Djiaw Kie Siong, pemilik rumah pada peristiwa Renges Dengklok, dan Oej Tiang Tjoe, anggota BPUPKI.
“Jangan lupa,” kata Pak Sakerah mengingatkan, “Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Ahmad Haris Nasution juga diundang.”

Dalam waktu yang super singkat, tokoh-tokoh yang dimaksud Pak Sakerah berdatangan.
“Sudah lengkap Gus,” begitu Pak Sakerah melaporkan. “Benar-benar komplit!” kata Pak Sakerah sambil mengangkat jempolnya. Itu karena tokoh agama dari NU dan Muhammadiyah sudah didatangkan. Kapolri Hoegeng sudah siaga. Jaksa Agung Soeprapto dan Baharudin Lopa sudah di kursinya. Kusumah Atmadja dan Soerjadi sudah berdiri di pintu keluar-masuk. Tokoh-tokoh lainnya sudah menempati kursinya.

“Siapa yang mendampingi Ahok?” tanya Gus Dur.
“Didampingi dua orang tokoh, Gus. Beliau-beliau itu adalah Djiaw Kie Siong, pemilik rumah pada peristiwa Renges Dengklok, dan Oej Tiang Tjoe, anggota BPUPKI,” kata Kamit, “Tapi sebenarnya banyak yang mau mendampingi Ahok. Sayangnya, mereka sibuk berdagang. Ada yang sibuk mereklamasi pantai. Ada yang masih ngurusi apartemen berlantai 250. Ada yang sibuk akan segera menutup bank karena takut kena kerusuhan. Sebagian yang lain masih ada di Macau, bermain domino. Ada yang masih sibuk bermain valas.” Panjang lebar Komat menjelaskan.
“Tapi sudah komplit, Gus,” kata Kamit. “Semuanya sudah terwakili.”
“Masih ada yang kurang,” kata Gus Dur.
“Apa itu, Gus?” serempak mereka bertanya.
“Jika beliau setuju, ajak Bung Karno dan Pak Harto kemari. Beliau-beliau itu harus duduk di kursi deretanku.”
Dalam hitungan menit, Bung Karno dengan pakaian kebesarannya datang tanpa pengawalan. Berikutnya Pak Harto dengan lima bintang di pundaknya memasuki ruang sidang. Kedua orang pembesar negeri ini menjadi pusat perhatian tokoh-tokoh dalam ruang sidang. Mereka menundukkan kepala tanda hormat.

“Sidang dimulai,” begitu Gus Dur memukul lonceng gereja—maaf memang panitia tidak menyediakan palu hakim. Adanya hanya lonceng gereja yang dibawa Ahok. “Selanjutnya diserahkan kepada Bung Karno sebagai Hakim Ketua untuk memimpin sidang.”
“Bagaimana menurutmu sebagai pakar bahasa, tentang kalimat-kalimat Ahok di Kepulauan Seribu?” tanya Bung Karno kepada JS Badudu dan Gores Keraf.
“Tergantung yang mau memaknai, Bung!”
“Menurut para ulama tafsir?” tanyanya kepada tiga orang ulama tafsir yang ada dalam ruang sidang itu.
“Agak sulit mencari padanan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia.”
“Tokoh agama yang lain? Menurut Kiai Hasan Basri?”
“Lakum dinukum wa liyadin..” sahut Kiai Hasan Basri.
“Pak Polisi?” tanya Bung Karno menunjuk Hoegeng.
“Siap, Bung! Tergantung anak buah, mau diselidik atau disidik, atau bagaimana..”
“Jaksa Agung?” Soekarno menunjuk Soeprapto.
“Kami menunggu berkas dari Pak Hoegeng, Bung!”
“Menurut si Pitung?” tanya Bung Karno menunjuk si Pitung.
“Jika ada yang macem-macem di bumi Betawi, akan kami gasak dengan jurus cingkrak…” sambil menaruh hormat, si Pitung menunjukkan jurus-jurus silatnya di hadapan Bung Karno. Tokoh proklamator itu hanya tersenyum.
“Babe Sabeni?” tanya Bung Karno pahlawan Betawi, si pendekar silat aliran sabeni.
“Gasak Bung!” katanya tegas. “Di tanah Betawi tidak boleh lagi ada penjajah!” sambil tubuhnya melayang, berputar-putar di udara dengan jurus sabeninya.
“Menurut kalian: Yani dan Nasution?” tanya Bung Karno kepada Ahmad Yani dan Haris Nasution.
“Aman dan terkendali, Bung,” kata Nasution, “Yang penting, Indonesia tetap NKRI,” sambung Ahmad Yani. Bung Karno mengangkat jempolnya tanda setuju.
“Affan Gafar? Sebaga pengamat politik?” Bung Karno menunjuk orang yang dimaksud.
“Suasana di Ibukota memang memanas, Bung. Semua bisa jadi komodite politik yang saling menjatuhkan.”
Bung Karno menatap tajam. Mungkin ia mengenang masa lalunya yang juga jatuh bangun di dunia politik, sejak zaman penjajahan sampai tahun kejatuhannya.
Namun beberapa saat kemudian tatapannya dialihkan ke wajah Ahok. Lalu, “Ahok?” alis Bung Karno sedikit diangkat.
Dasar Ahok, ia ngomong kesana-kemari. Bicaranya seruduk sana, seruduk sini. Bahkan tanpa rasa canggung. Ahok menyalahkan semua yang hadir dalam ruang sidang saat itu. Mestinya, kata Ahok, ulama tafsir tidak menerjemaah Almaidah dengan pemimpin. Keadaannya menjadi begini karena padanan kata dalam bahasa Arab yang dipaksa. MUI juga disalahkan, mestinya tidak mengeluarkan statemen yang membahayakan dirinya. Juga Buni Yani, mestinya tidak mengunggah ke You Tube. Para penegak hukum mestinya tidak meninggalkan dunia fana, sampai Ahok menjadi gubernur, bahkan (jika bisa) presiden. Masih menurut Ahok, Bung Karno yang dikenal arif, tidak buru-buru meninggalkan kita. Dan bahkan Gus Dur tidak secepat itu meninggal dunia. Sebab selama ini Gus Dur-lah yang dianggap berpihak kepada Ahok. Dan, jika Pak Hoegeng masih mengenakan seragam abu-abu, ia tidak buru-buru dipanggil Bareskrim Polri. Semua orang disalahkan.
Tanpa berkata-kata, Bung Karno hanya menatap Ahok dengan sinis. Lalu, “Menurutmu, Djiaw Kie Siong, dan Oej Tiang Tjoe?”
“Saya pikir, anak ini tidak bakalan lahir ke dunia, Bung!” kata Djiaw Kie Siong sambil menunjuk wajah Ahok, “Eeh.. malah lahir juga. Tuhan berkehendak lain, Bung!” sambung Oej Tiang Tjoe.
Bung Karno mengangguk-angguk. Kemudian, “Hakim Agung?” tanya Bung Karno kepada kedua Hakim Agung itu.
“Meski dalam UUD 1945 kami setara dengan presiden, tapi kenyatannya, kami hanya anak buah Presiden, Bung!” jawabnya. “Yang lebih agung adalah presiden. Mau diputus A atau B, tergantung kemauan presiden.”
Bung Karno membuka-buka buku kecilnya, hasil catatannya sejak tadi. Sesekali ia komat-kamit, dan “Menurutmu, Harto?” tanya Bung Karno kepada Pak Harto yang saat itu bersama Gus Dur mendampingi Bung Karno.
“Aaa… menurut daripada saya, terserah daripada Bung Karno yang mulia Panglima Tertinggi daripada TNI, pemimpin daripada revolusi…”
“Menurut Gus Dur?” tanya Bung Karno kepada Gus Dur.
“Gitu saja kok repot, Bung!”
Bung Karno mesem. Lalu, sang Proklamator itu berkata, “Makanya, kalau kamu Kristen, jangan jadi Kristen Vatikan atau Kristen Israel. Kalau kamu Islam, jangan jadi Islam Arab. Kalau kamu Hindu atau Budha, jangan jadi Hindu dan Budha India. Jika kamu Konghuchu, jangan jadi Konghuchu China. Kalau kamu Ahmadiyah, jangan jadi Ahmadiyah India. Kalau kamu penganut Shinto, jangan jadi Shinto Jepang. Tapi ingat,” kata Bung Karno, dengan kalimat meninggi, “Jadilah kamu Kristen Indonesia, atau Islam Indonesia, atau Hindu Indonesia, atau Budha Indonesia, ataupun Konghuchu Indonesia, atau Shinto Indonesia. Sekali lagi, Indonesia! Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini!”
Mereka terdiam. Ruangan benar-benar sunyi.
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Tapi perjuanganmu jauh lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri!” kata Bung Karno lagi.
Kembali ruangan menjadi sunyi.
“Keputusannya apa ya?” tanya Pak Sakerah agak heran. Sementara, Komat dan Kamit tidak bisa komat-kamit.
“Lo, keputusannya apa ya?” Pak Sakerah mengulang pertanyaannya.
“Iya.., keputusannya, iya… putus-putus sendirilah,” kata Gus Dur menyela. “Gitu saja kok repot, Sakerah!”
“Ha?” (Em Saidi Dahlan, endydahlan@ymail.com 08112016)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *