Dominasi Nuansa Kebencian Proses Pemilu 2019?

  • Whatsapp

JAKARTA – Kericuhan yang terjadi pada beberapa lokasi di Jakarta begitu memilukan bagi Indonesia. Korban jiwa turut berjatuhan lalu kelompom itu menyebutnya sebagai pejuang keadilan atau demokrasi. Tuntutan yang mereka lontarkan sederhana, bahwa proses demokrasi tidak dilaksanakan dengan baik.

Mereka datang dengan kebenaran yang mereka yakini, bahwa penyelenggara tidak benar-benar jujur dalam melaksanakan proses Pemilu. Lalu siapa yang harus disalahkan? penyelenggara, calon presiden ataukah pemerintah?

Satu hal yang pasti bahwa kita harus mengevaluasi bersama bagaimana narasi yang mengiringi pemilu 2019 dibangun. Sejak awal, wacana yang dibentuk adalah tentang kebencian antar pendukung yang berujung saling caci. Ada satu polarisasi yang disajikan dan menciptakan kebekuan yang sulit mencair. Rakyat menjadi kaku menjalani proses pemilu kali ini.

Proses pemilu 2019 yang dibangun dengan nuansa kebencian, setidaknya melahirkan ketegangan yang luar biasa hebat. Kini yang kita torehkan hanya jumlah korban jiwa berjatuhan, luapan emosi rakyat di media sosial, aparat yang represif, presiden dan jajarannya konferensi disemua media TV, hingga pembatasan berbagai media sosial dan pesan singkat.

Tentu tak ada solusi pada sesuatu yang sudah berlalu. Kita semua harus menyesal karena tidak maksimal menjadi penengah antara mereka.

Proses dialektika melalui adu gagasan dan argumen tentu kita harapkan dalam suatu negara demokrasi. Apatah lagi dalam momentum untuk memilih pemimpin negara. Tentu pemimpin yang harus dipilih karena memiliki visi yang besar. Yaitu keinginan memperjuangkan suatu harapan bersama, yang menawarkan penghidupan yang layak, yang menawarkan cinta kepada sesama rakyat.

Hak Rakyat

Jim Ife, seorang ilmuan sosial dalam bukunya berjudul Human Righ and Social Work berpendapat tentang keterlibatan warga negara dalam dinamika politik negara ataupun internasional. Menurutnya, ketika bicara tentang HAM, masyarakat harus ada pada level HAM tertinggi. Yaitu kesadaran bahwa dinamika ekonomi politik akan berimplikasi pada kehidupan mereka.

Kesadaran akan kehidupan politik nasional dan internasional merupakan HAM generasi ketiga. Dimana sebelumnya kita telah melewati dua generasi HAM yang diantaranya adalah seputar penghidupan yang layak, tentang pekerjaan yang layak, rumah yang layak dan mampu mengakses pendidikan.

Warga negara harus terlibat untuk mengambil peran. Mereka harus berdiri menentang sistem oligarki yang pelan-pelan membunuh hak rakyat sebagai warga negara. Demikian pula kewajiban untuk bersuara dan menyampaikan pendapat ketika hak mereka dirampas. Mereka (rakyat) harus berada pada garis perjuangan ideologi, bukan karena ikut-ikutan membenci.

Pendidikan politik seperti ini harus diutamakan. demokrasi yang ideal akan terwujud jika pendidikan politik berjalan dengan baik. Bukan pengerahan atas kepentingan politik yang pelan-pelan mengarahkan kepada calon tertentu. Ia harus netral menuntun rakyat pada proses perjuangan politiknya.

Jokowi adalah pemenang pilpres versi Komisi Pemilihan Umum. Kekuasaan paling tinggi dalam mengambil keputusan pemenang pemilu. Saat rakyat bersatu padu kembali dan menjadikan proses pemilu yang anarkis sebagai pelajaran agar kedepan tidak terjadi lagi.

Tugas berikutnya adalah menuntut Jokowi bekerja dengan maksimal. Melibatkan seluruh rakyat bukan kelompok oligarkinya. Bapak Presiden harus memperjuangkan apa yang diperjuangkan rakyat. Mengangkat derajat setiap rakyat yang selama ini tidak merasakan manfaat dari bernegara.

Memecah belah jauh lebih mudah dibanding menyatukan. Maka pekerjaan pertama JOKOWI-MA’RUF AMIN adalah menenun kembali kebhinekaan kita. Tugas selanjutnya adalah membuktikan bahwa mereka sangat layak memimpin bangsa ini.

Perolehan suara petahana 55% adalah bukti bahwa Jokowi sebenarnya hanya dicintai oleh separuh rakyat Indonesia. Ia harus mengevaluasi diri, bekerja lebih gigih diperiode yang kedua untuk mendapatkan cinta rakyat. Tinta emas harus dituliskan sebagai cerita dihari kemudian.

Sebuah legacy yang yang harus menjadi cerita generasi mendatang. Tentang pemilu yang anarkis ini harus tertutupi oleh sebuah cerita kerja nyata dimasa mendatang. Jokowi harus tampil sebagai presiden untuk semua, bukan sebagai alat pemodal dan asing. Jokowi harus menebar kebaikan dengan berbuat baik dengan baik.

Oleh : Abdul Muis Amiruddin – Ketua Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional PB HMI

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *