HPL : Pelaku Kekerasan seksual Harus Dihukum Agar Ada Efek Jera

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com |Menanggapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh putra seorang kyai di Jombang terhadap seorang santri putri, anggota DPRD provinsi Jatim dari fraksi PDIP Hari Putri Lestari (HPL) merasa prihatin. Untuk itu anggota Komisi E ini wanti-wanti agar pelaku ditindak tegas dan dihukum. Selasa (21/7/2020) 


“Ini apakah sesuai untuk santri yang diperkosa oleh anaknya Kyai. Untuk kasus pemerkosaan, siapapun pelakunya, bagi setiap warga negara harus taat, patuh pada aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini kasus santri di Jombang itu polisi harusnya segera bertindak cepat untuk membuktikan bahwa hukum ini tidak tebang pilih. Harus berani, siapapun pelakunya. Apalagi ancaman hukuman ini kan di atas 5 tahun, berarti bisa ditahan, dan  harusnya ditahan,” tegas HPL.  


“Apalagi kalau kasus ini dibiarkan, disepelekan oleh aparat hukum. Namanya kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan dan anak itu akan tetap marak jumlahnya, tidak akan berkurang, bahkan fakta di lapangan semakin banyak. Karena ini tadi sudah jelas-jelas ada laporan, ada korban, ada saksi, kemudian sudah diliput media massa, tapi aparat hukum tidak menunjukkan keseriusannya untuk menangani hal ini, sehingga kami berharap polisi segera memproses atau menahan pelaku tindak kekerasan seksual ini,” protesnya. 


Lebih lanjut HPL menambahkan bahwa persidangan harus segera dilaksanakan agar ada efek Jera, kalau tidak ya akan terjadi terus menerus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak.  


“Ada pelakunya bersifat Arogan, jadi sekarang kita bisa buktikan saja siapapun, pejabat-pejabat negara seperti Ketua DPR RI saja juga tidak kebal hukum ya kan. Jadi apa lagi emang anaknya tokoh atau seorang tokoh. Jadi intinya siapapun pelakunya yang melanggar hukum harus di proses,  tanpa pandang bulu. Untuk meningkatkan efek Jera,” sergahnya.
“Yang harus dilakukan oleh pemerintah, korban harus ada pendampingan dari pemerintah. Negara harus hadir, jadi dari kepolisian itu kan bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan perempuan, harus ada perlindungan diri beserta saksi harus dilindungi dan diberikan hak untuk pemulihannya,” tandasnya.


HPL menyebut bahwa proses pemulihan bagi para korban kekerasan seksual harus didampingi misalnya ada traumatik. 
“Kalau orang mengalami perkosaan atau kekerasan ini ada traumatik, negara harus memperhatikan pemulihan terhadap traumatik itu. Jadi negara yang harus hadir dalam pendampingan sampai selesai,” tambahnya. 


HPL menjelaskan, jika karena korban melaporkan ke polisi kemudian dia dikeluarkan dari sekolah atau pondok pesantren, sudah menjadi tugas negara mencarikan sekolah lain, atau  harusnya dititipkan lah dia di pondok pesantren lain karena dia harus melanjutkan proses belajar,
“Intinya anak korban kekerasan seksual masih bisa melakukan kegiatan belajar mengajar, jangan sampai terlambat. Dan diberi tahu juga kepada masyarakat, korban ini jangan di stigma negatif. Masih ada yang menyalahkan korban, korban  adalah korban. Yang salah adalah pelaku. Jadi korban Jangan dianggap negatif, biarkan korban ini diberi kesempatan untuk pulih,  diberi semangat,  korban diberi kesempatan sama seperti  yang lain, bahkan harusnya ada kepedulian terhadap korban dari masyarakat umum,”jelas HPL. 


HPL menegaskan pelaku kekerasan seksual adalah penjahat. Perkosaan itu adalah kejahatan serius. Jadi pemerintah harus bersikap tegas untuk menghukum pelaku kejahatan seksual. (yul)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait