Konflik Dua Selebrita Tulungagung, Kuasa Hukum Caroline Merasa Adanya Diskriminasi

  • Whatsapp

TULUNGAGUNG, beritalima.com- Tim kuasa hukum Caroline, menganggap adanya diskriminasi atau ketidakadilan dalam penanganan perkara yang dihadapi oleh kliennya saat ini.

Hal tersebut, disampaikan Sumardhan, SH, MH selaku Tim Kuasa Hukum Caroline warga Kelurahan Kutoanyar, Kecamatan/Kabupaten Tulungagung, usai mendampingi kliennya sebagai terlapor dalam sidang perkara UU ITE di Pengadilan Negeri Tulungagung.

“Yang dianggap tidak adil itu terkait bentuk pelayanan, kalau dulu pada saat proses perkara UU ITE cepat sekali, tetapi ketika klien kami melaporkan tentang perkara identitas palsu atau pasal 266 KUHP terkesan lama prosesnya. Padahal informasi yang kami dapat perkara ini sudah masuk tahap P-21 sejak 26 februari 2024, tapi ternyata sampai sekarang belum sampai ke tahap kedua (penyerahan),” ucapnya. Rabu, (27/3/2024).

Sebagai tim kuasa hukum pelapor (korban), Sumardhan merasa khawatir dan takut terhadap tersangka H atau S karena pada waktu persidangan 2 minggu yang lalu, di depan hakim mengatakan bertempat tinggal di Singapura.

Pihaknya berharap, penyidik Polres Tulungagung maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Tulungagung, agar segera melakukan proses tahap kedua.

“Yang kita persoalkan itu terkait kenapa tahap kedua dalam perkara 266 ini terkesan lamban. Padahal, hukumannya kan lebih besar yakni 7 tahun penjara dan secara hukum tersangka itu boleh ditahan,” harapnya.

Selain itu menurutnya, proses penanganan perkara ini prosesnya azas sederhana dan cepat dan itu penting untuk diperhatikan oleh aparat penegak hukum.

“Karena itu ada korelasinya dengan yang sedang di persidangkan. Kenapa ada hubungannya? karena tersangka ini menggunakan dua identitas (KTP), satu bernama Herlina ktp-nya Jakarta, dan satu KTP nya dengan nama Suprihatin dengan alamat Tulungagung. Jadi penting berkaitan dengan perkara yang sedang kami tangani,” ujarnya.

Ia juga mengatakan, agenda hari ini meminta keterangan tentang verbal lisan dari penyidik, dari proses persidangan ini menurutnya juga banyak yang janggal.

“Dari proses sidang hari ini, kami menilai banyak kejanggalan, hal ini terlihat dari BAP nya hampir sama semua antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu, makanya hakim dan kami sebagai penasehat hukum, ragu atas keterangan BAP itu,” kata Sumardhan.

Bukan hanya itu saja, lanjutnya, ia menemukan beberapa fakta yang tidak pas, salah satunya, ada orang yang tidak kenal tapi mengakui orang lain dirugikan.

Untuk itu, pihaknya juga mempersoalkan tentang prosedur atau proses tata cara. Karena menurutnya banyak hal yang tidak benar, dari situlah dalam agenda sidang kali ini lebih banyak bertanya tentang fakta-fakta yang ada di BAP.

“Kenapa kok bisa begini?? Salah satu contoh, yang dijadikan sebagai barang bukti itu 3 fotokopi lembaran yang berbunyi jelek-jelek, yang macam-macam postingan, semestinya keterangan itu kan harus diambil didalam HP atau di laptop sebagai barang bukti. Tapi itu tidak, hanya berupa fotokopi yang sudah dibawa oleh pelapor, dan secara hukum, fotokopi kan bukan alat bukti,” ungkapnya.

“Kenapa kok tidak disita saja dari HP orang yang memberikan informasi, karena itu barang bukti dan sesuai pasal 181 KUHP menyebutkan barang bukti wajib ditunjukkan di dalam persidangan. Itu termasuk menjadi bagian dari persoalan dan banyak hal lainnya yang kami nilai janggal,” imbuhnya.

Ditempat yang sama, Mohammad Ababilil Mujaddidyn (Billy Nobile & Associate) yang juga Tim Kuasa Hukum Caroline menambahkan bahwa, menurut SKB antara Menteri Kominfo, Kajagung dan Kapolri, UU ITE itu harus spesifik yaitu nama yang sebenarnya.

“Jadi, selama nama yang sebenarnya tidak muncul di dalam unggahan, itu tidak bisa disebut sebagai pencemaran. Dalam kasus ini, identitasnya yang sebenarnya itu bukan yang disebut dalam unggahan dan sampai saat ini pun masih ada unggahannya,” tambah billy sapaan akrabnya.

Menurutnya, terungkap di Pengadilan bahwa identitas pelapor itu ganda, dan di kasus lain, statusnya itu sudah tersangka dan tahap P-21 menunggu tahap dua atau pelimpahan dari penyidik Polres ke Jaksa.

“Kenapa kok lambat? itu yang kita pertanyakan. Itu yang kita bilang diskriminasi tadi, penanganan, pelayanan sebagai penegak hukum. Karena ketika klien kami dulu, dua hari langsung selesai,” tuturnya.

“Yang lambat itu penanganan perkara 266 yakni, menempatkan keterangan palsu ke dalam akte otentik yang ancamannya 7 tahun. Padahal perkara itu sangat penting sekali, menguji kebenaran identitasnya, satu Herlina, satu Suprihatin. Ini kan harus dibatalkan dulu demi nama undang-undang, tidak boleh identitas ganda itu, makanya itu patut diduga melanggar UU pasal 266 KUHP,” jelas Billy.

Sementara itu, Caroline mengatakan dengan adanya masalah ini, mungkin ada satu pembelajaran atau pesan penting.

“Dalam kasus ini minimal ada satu pesan yang sangat penting diambil hikmahnya. Berbanggalah dengan nama pemberian orang tua, entah itu mau pindah ke kota, metropolitan, ya berbanggalah dengan nama pemberian dari orang tua,” pungkasnya. (Dst).

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait