Pelaku Bisnis Kepelabuhan Tanjung Perak Keluhkan Ini Di Depan LaNyalla

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Pelaku bisnis kepelabuhanan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur yang tergabung dalam Forum Komunikasi Asosiasi Pelabuhan Tanjung Perak meminta Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti membantu mencarikan solusi atas permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka usaha.

Ini penting dilakukan agar kinerja bisnis kepelabuhanan di Surabaya bisa kembali bangkit di era kenormalan baru. “Banyak masalah yang selama ini membelit kami dalam menjalankan aktifitas ekonomi di Tanjung Perak. Untuk itu kami meminta Ketua DPD untuk membantu, menampung keluhan dan mencarikan solusinya,” kata Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Wilayah ALFI Jatim, Henky Pratoko ketika bertemu LaNyalla di Surabaya, Selasa (11/8).

Hadir dalam pertemuan itu perwakilan Organisasi Angkutan Darat (Organda) Tanjung Perak, Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat (APBMI) Jatim, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Jawa Timur, Indonesian National Shipowners Association (INSA) Jatim, Gabungan Importir Seluruh Indonesia (Ginsi) Jatim, Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Jatim dan Asosiasi Depo Kontrainer Indonesia (Asdeki).

Henky mengatakan, wabah pandemi virus Corona (Covid-19) telah mengakibatkan seluruh aktifitas ekonomi di dalam negeri tersendat atau bahkan terhenti, tidak terkecuali bisnis kepelabuhanan di lingkungan Tanjung Perak Surabaya.

Agar bisnis kembali bangkit, Henky berharap di masa pandemi ini Pemerintah memberikan toleransi kepada dunia usaha dengan mengedepankan pelayanan dan bukan pada sisi menegakkan peraturan belaka.

“Kami dari dunia usaha sedang berjibaku untuk mempertahankan kegiatan usaha yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi riil pada dinamika ekonomi nasional. Kami mengharapkan sekali dalam masa-masa memasuki New Normal, Pemerintah memberikan toleransi yang tinggi dan juga tidak menerbitkan peraturan-peraturan yang justru memberatkan dunia usaha,” ungkap Henky.

Dia mencontohkan, beberapa peraturan yang selama ini menyulitkan pengusaha, diantaranya aturan tentang Persetujuan Impor (PI) yang menyulitkan pelaku importir karena untuk memperolehnya cukup rumit dan lama. Hal ini berdampak pada tersendat dan kurangnya pasokan bahan baku industri yang akhirnya membuat proses produksi terpaksa berhenti.

“Karena ketergantungan bahan baku sangat tinggi. Dan kondisi ini tidak hanya terjadi pada impor bahan baku besi dan baja serta produk turunannya, tetapi juga pada impor bahan baku tekstil dan bahan baku pakan ternak,” kata dia.

Selain itu, perlu adanya insentif dan relaksasi biaya untuk pelaku logistik di Jatim selama upaya-upaya pemulihan usaha dalam masa New Normal. Karena beberapa kebijakan pemerintah masih belum menyentuh pada pelaku secara menyeluruh. “Insentif dan relaksasi ini penting untuk mancing pengusaha agar kembali bangkit.”

Henky juga mengatakan, perlunya menertibkan instansi pemerintah terkait dalam tata laksana ekspor dan impor untuk memasukkan Larangan dan Pembatasan (Lartas) ke dalam sistem Indonesia National Single Window (INSW) yang pelaksanaannya menjadi mandatori.

Sebab beberapa kebijakan kementerian terkait Lartas ternyata belum semuanya dimasukkan dalam sistem INSW. Sehingga dalam prakteknya hal ini masih jauh dari sempurna dan akan merepotkan pelaku usaha.

Guna menggairahkan kembali dunia usaha, kata dia, perlu tatanan Nasional Ekosistem Logistik yaitu dengan cara menegaskan peranan masing-masing instansi pemerintah tanpa melampaui kewenangan yang dimiliki, khususnya praktik untuk selalu mencari kesalahan yang tidak prinsipil dari pelaku usaha.

“Campur tangan aparat kepolisian dalam rangkaian kegiatan usaha jasa logistik juga masih mengganggu dunia usaha sampai saat ini. Hal ini akan berkontribusi pada ekonomi biaya tinggi. Karena pelanggaran yang dituduhkan tidak diselesaikan melalui proses hukum yang semestinya.”

Henky juga mengkritisi tentang mudahnya izin berusaha diberikan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada PT Pelindo III dengan melakukan investasi usaha yang bukan core businesnya. Contohnya pengadaan atau menambah armada truk atau trailer.

“Tentunya aksi bisnis ini akan merusak pasar dengan memasuki wilayah market lini dua yang sudah ditangani oleh anggota asosiasi angkutan darat yang terkait,” kata Henky.

Pada sisi lain, juga ada kasus ketidaktaatan Terminal Teluk Lamong terhadap perjanjian kerjasama dengan Organda dalam penyediaan truk dan trailer berbahan baku gas (BBG) ramah lingkungan dalam lingkungan Teluk Lamong.

Awalnya, ada kerjasama Organda dengan Teluk Lamong untuk menyediakan angkutan ramah lingkungan. Dan, oleh organda sudah dilaksanakan hingga di pertengahan 2016 sekitar 50 unit lebih truk dan trailer BBG yang telah disediakan. Tetapi akhir 2016, kebijakan berubah. Teluk Lamong mempersilahkan truk berbahan baku solar beroperasi. Ini sangat merugikan Organda hingga akhirnya tidak mampu beroperasi karena kalah bersaing.”

AA LaNyalla mengucapkan terimakasih kepada Forum Komunikasi Asosiasi Kepelabuhanan Tanjung Perak karena telah menyampaikan aspirasi itu.

“Silahkan pada masing masing asosiasi menyampaikan aspirasinya secara tertulis. Nanti akan kita bahas apa yang menjadi subtansi permasalahannya. Masalah itu kita teruskan ke menteri terkait. Bila perlu, kami menyampaikan ke presiden, karena saya secara berkala berkomunikasi dengan presiden,” demikian AA LaNyalla Mahmud Mattallitti. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait