Pembelian LKS, Seragam Dan Biaya Daftar Ulang Di Sekolah Tidak Masuk Pelanggaran

  • Whatsapp

LUMAJANG,beritalima.com- Sehubungan dengan telah dimulainya Tahun Ajaran Baru tahun 2019-2020, di kabupaten Lumajang ada saja yang dilakukan sekolah-sekolah di berbagai sekolahan. Diduga untuk meraup keuntungan tidak jarang pihak sekolah menjadikan sekolah sebagai “agen” produk-produk pihaknya. Hal ini terjadi di sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) di Lumajang, (29/07/2019).

Hal itu terjadi di MI Al Ghozali yang beralamat di Gambiran, kelurahan Rogotrunan, kabupaten Lumajang, dari keluhan beberapa wali murid yang mengadu ke awak media terkait pembiayaan sekolah anaknya. Dalam keluhannya mengatakan kalau anaknya dikenakan biaya daftar ulang, pembelian buku LKS dan pembelian seragam. “Anak saya kelas Empat pak, ini dikenakan bayar daftar ulang Rp 100000,- dan membeli LKS Rp 208000,- , dan juga untuk membeli seragam Dua juta rupiah”, ujar Wali murid tersebut sambil menunjukkan surat edarannya yang ditanda tangani kepala sekolah.

Saat dikonfirmasi awak media, Rama A Fairus S Pd kepala sekolah MI, mengelak kalau pembelian LKS itu senilai Rp 200000,- lebih itu. “Memang ada pembelian LKS tapi hanya Rp 100000,- untuk kelas bawah, dan yang kelas Enam Rp 150000,-. Itupun kalau ada yang mau membeli, kalau mau beli di toko ya boleh. Tapi wali murid malah menghendaki pihak sekolah yang membelikan”, ujar Fairus.

Dalam hal ini memang dirinya pernah dipanggil kemenag terkait pembelian LKS, tetapi tiga tahun yang lalu waktu kepala kemenagnya Muhammad. “Saya pernah dipanggil kemenag dulu pak, ya saya ngomong kalau ada kesulitan terkait LKS, dan beliau memperbolehkan”, pungkasnya.

Di tempat lain, Khoiri kasi penma kemenag kepada awak media juga memperbolehkan, dirinya memberikan contoh di pondok pesantrennya. “Seperti di pondok saya, sekarang ini siapa yang membangun gedungnya, sing mbayar sinten. Kalau cuma mengandalkan seperti itu juga nggak bisa, maka pola partisipasi itu sakniki memang perlu. Jadi pendidikan gratis itu sejauh mana gratisnya, suatu misal satu buku cuma Rp 10000,- iki lho kalau bukan orangtua”, ujar Khoiri.

Masih kata Khoiri, “kalau terkait seragam, ngasiknya pak bupati seperti apa, nah sekarang anak sudah masuk baru konfirmasi, bagaimana maksudnya. Yang penting itu, jadi ada dialog, saya rasa yang terpenting di situ memang peruntukannya ada dan jelas. Nah kalau sekarang suatu misal nunggu seragam dari pemerintah, turunnya kapan. Terus anak masuk bisa tidak berpakaian itu”, tandas Khoiri.

“Jadi begini, madrasah itu adalah lembaga pendidikan yang didirikan masyarakat, jadi biaya ya harus dari masyarakat. Pemerintah hanya stimulan, jauh, bantuan kita dari pihak pemerintah melalui penma yang masuk melalui rekening mereka masing-masing. Jauh dari kebutuhan pendidikan, bagaimana kita akan membuahkan sebuah pendidikan yang berkualitas. Seperti guru-gurunya untuk membuat soal dan lain sebagainya, dari mana juga biayanya. Sulit pak, saya juga pengelola pendidikan. Justru ini pemikiran bagus kalau masyarakat punya kesadaran untuk membiayai, jadi ini bukan hal pelanggaran menurut saya”, pungkas Khoiri.

Berbagai kebijakan memang sudah ada dalam Peraturan Pemerintah, adanya beberapa larangan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, dewan pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 181. Pertama, larangan untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam di satuan pendidikan. Kedua, larangan untuk memungut beaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan.

Ketiga, larangan untuk melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik. Keempat, larangan untuk melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berbagai larangan tersebut tentunya bermakna sebagai upaya positif pemerintah untuk menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga yang ingin menjadikan sekolah sebagai “Agen”.

Pemerintah dalam hal ini telah mengambil sikap agar para pendidik dan tenaga kependidikan tidak lagi mencari penghasilan tambahan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangannya di satuan pendidikan. Dalam hal ini para pendidik seolah-olah diajak untuk berpikir jernih, apakah penghasilan yang selama ini mengalami kenaikan dan masih ditambah dengan tunjangan sertifikasi masih kurang?. (Jwo)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *