Pernikahan Dini: Perlu ‘Kearifan’ dari Hulu Sampai Hilir

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)

Beberapa waktu lalu kita ‘dikejutkan’ sebuah video yang cukup viral. Video itu tidak lain adalah adanya sebuah Peraturan Daerah (perda) yang melarang perkawinan dini. Perkawinan dini dimaksud tidak lain adalah perkawinan anak karena masih belum memenuhi batas minimal boleh menikah. Sebagaimana yang diberitakan detik.news (30/01/2021), perda yang muncul atas hak inisiatif DPRD NTB itu telah disetujui untuk ditetapkan sebagai peraturan daerah setempat, dalam rapat paripurna yang khusus digelar untuk itu (29/01/2021). Pada pokoknya perda tersebut berisi muatan hukum tentang pencegahan perkawinan anak, sekaligus sanksinya, yang menurut pengamatan otoritas setempat selalu tinggi dalam lima tahun terakhir.

Entah karena kebetulan atau memang karena faktor kepekaan politik para pimpinan daerah provinsi lain pun juga mulai responsif terhadap maraknya pernikahan dini. Yang jelas, pascaamandeman UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019, saat ini secara tegas usia nikah anak perempuan yang semula 16 tahun berubah menjadi 19 tahun. Pada Pasal 7 ayat (1) tegas disebutkan : “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun”. Pada ayat 2 dinyatakan :”Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/ atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan mendesak dsertai alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup”.

Adanya pembatasan batas usia minimal, di satu pihak, dan peluang menyimpangi ketentuan itu, di pihak lain, seolah mengesankan sikap negara yang ambigu. Akan tetapi, sebagaimana dikemukakan sebagian pengamat, hal itu sebenarnya disebabkan oleh realitas, bahwa sejatinya tentang kematangan usia nikah merupakan persoalan privat yang bisa berbeda antara satu dengan yang lain. Ada anak yang jika dilihat dari segi usia memang masih belum cukup umur, tetapi dari segi kesiapan berumah tangga, terlihat cukup matang. Sebaliknya, ada anak yang dari segi umur sudah cukup, bahkan melebihi batas menimal umur kebolehan menikah, tetapi dari tampilan perilakunya, terlihat belum matang untuk menikah. Apalagi, jika harus dikaitkan dengan aneka ragam kultur masyarakat Indonesia yang ada. Di satu masyarakat yang relatif maju tingkat pendidikan dan ekonominya usia 19 tahun bukan merupakan persoalan. Secara sadar, orang-orang yang berkesempatan menempuh pendidikan tinggi memilih sendiri menikah di atas usia minimal undang-undang. Bahkan, karena alasan tertentu, seperti ingin berkarir di suatu profesi tertentu, justru memilih harus menunda perkawinan.

Akan tetapi, bagi orang yang tidak mampu menempuh pendidikan tinggi karena ketidakberuntungan, secara talenta dan ekonomi, menunggu usia 19 tahun untuk menikah tentu merupakan penyiksaan dan dalam tataran tertentu dapat disebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Belum lagi, bila hal ini dikaitkan dengan tata pergaulan masa kini yang cenderung permisif. Dukungan teknologi (baca: medsos) dalam keseharian yang menjangkau hampir semua lapisan masyarakat, dari sisi dampak negatifnya, juga tidak kalah bahayanya. Pergaulan muda-mudi yang alat-alat reproduksinya telah masak, secara biologis, sering terkait dengan dampak negatif teknologi itu.

Dalam kondisi demikian, pernikahan dini bisa muncul karena 2 kemungkinan: dari faktor anak yang bersangkutan dan dari faktor orang tua. Keinginan menikah bisa muncul dari anak, karena secara sadar dan alami anak tersebut memang sudah merasa mampu dan ingin segera menikah. Hasrat berhubungan seksual ingin segera disalurkan melalui cara beradab, melalui lembaga perkawinan. Sedangkan, keinginan menikah yang disebabkan karena faktor orang tua juga bisa karena 2 kemungkinan, pertama karena ketidak berdayaan orang tua. Pergaulan putra-putri yang sulit dikontrol membuatnya khawatir jika anak tersebut terjerumus kepada pelanggaran norma-norma susila dan agama. Ketakutan orang tua harus memperoleh cucu akibat hubungan terlarang (baca: zina) dari anaknya, menjadi alasan utama, mengapa orang tua harus segera menikahkan anaknya yang masih di bawah umur.

Kedua, karena faktor kultur. Di bebarapa tempat tertentu, khususnya masyarakat pedesaan, masih ada yang beranggapan, bahwa mempunyai anak perempuan yang tidak segera menikah merupakan aib karena dianggap mempunyai anak yang “tidak laku”. Menyegerakan menikahkan anak di usia dini merupakan cara menghindar dari cibiran masyarakat sekelilingnya. Pada saat yang sama kebiasaan ikutan yang menyertai prosesi pernikahan juga tidak kalah pentingnya. Kebiasaan ikutan itu seperti tradisi “mbecek” atau “bu-uh” (Jawa). Sebagaimana kita ketahui, dalam tradisi masyarakat desa dan tampaknya juga telah menjngkiti hampir semua masyarakat, bahkan orang kota dan terdidik sekalipun, saat digelarnya acara pernikahan diikuti dengan kebiasaan mengundang saudara, tetangga, dan teman.

Acara yang semula secara religi dimaksudkan sebagai upaya ‘walimah untuk i’lan (pengumuman) bahwa “fulan” dan “fulanah” telah menikah, kini berubah menjadi tradisi “arisan” yang berkonsekuensi tertentu, tidak hanya secara sosial tetapi juga finansial. Sering terjadi, ketika orang lain menyelengarakan pernikahan, seseorang menyumbang dan pada giliran berikutnya dianggap seperti punya hutang apabila orang lain tersebut tidak membalas menyumbangnya. Bahkan, pada masyarakat desa tertentu, sumbangan tersebut harus secara terbuka diumumkan seperti layaknya absensi kehadiran murid sekolah oleh guru. Dalam kondisi demikian, pernikahan anak secara sadar sengaja diselenggarakan tidak lain dimaksudkan untuk keperluan menarik pulang sumbangan yang pernah ia berikan kepada saudara, tetangga, dan teman-teman sebelumnya. ‘Gairah’ menyelenggarakan pernikahan dini, pada saat yang sama, seperti mendapat legitimasi relejius, ketika masih ada realitas sebagian tokoh agama yang diam-diam ‘mengkampanyekan’, bahwa nikah merupakan salah dari 3 hal yang harus segera ditunaikan, selain membayar hutang dan menyegerakan mengubur jenazah.

Realitas di muka, mengharuskan semua pihak untuk membuka mata bahwa persoalan nikah dini sejatinya mengandung sejumlah faktor penyebab. Faktor penyebab tersebut juga sering mengandung sejumlah kompleksitas persoalan yang saling terkait dan oleh karenanya, dengan tanpa bermaksud menggurui, perlu difahami para pemangku kepentingan (stakeholder). Para pemangku kepentingan ini perlu mengidentifikasi masalah guna melakukan pencegahan (preventif) sekaligus tindakan yang perlu diambil (kuratif) dari hulu sampai hilir. Suatu sikap yang sangat kurang tepat sekaligus kurang bijak, ketika ada yang mengatakan, bahwa penyebab terjadinya pernikahan dini karena keberadaan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama, sebagai filter terlalu murah dalam memberikan keputusannya: “mengabulkan.” Indikatornya, dari sekian perkara dispensasi yang masuk hampir 99,9 persen dikabulkan. Mengapa klaim itu tidak bijak? Banyak orang tidak tahu bekerjanya pengadilan.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yudikatif dilarang menolak perkara masuk. Berikut, sekalipun tidak semua perkara masuk dikabulkan akan tetapi khusus perkara dispensasi kawin yang maju ke pengadilan agama sudah mengandung sejumlah kompleksitas masalah yang sering ‘mengharuskan’ hakim untuk mengabulkan. Terhadap perkara dispensasi yang masuk, Hakim yang menangani selalu dihadapkan kepada dua hal ekstrim yang sama-sama mempunyai risiko buruk. Dalam situasi demikian biasanya selalu merujuk kaidah standar. Sesuai kaidah standar, “ketika ada dua masalah yang sama-sama mempunyai risiko buruk, harus dipilih salah satu yang lebih ringan risiko buruknya.” Pilihan hakim mengabulkan perkara dispensasi kawin yang berujung kepada terjadinya perkawinana dini, selalu sudah melalui pertimbangan demikian.

Terlepas setuju atau tidak terhadap hasil keputusan hakim, yang pasti persoalan yang di hadapi pengadilan, hakim khususnya, adalah persoalan hilir. Terdapat sejumlah masalah hulu yang menjadi kompetensi non pengadilan, yang harus dilakukan guna pencegahan. Masalah tersebut seperti masalah pendidikan, ekonomi, ketersediaan lepangan kerja, ketersediaan pendidikan yang terjangkau, kontrol sosial, peran aparat keamanan, para penyuluh agama di Kementrian Agama sekaligus tokoh agama (Kiai dan Ustad). Perlu dibuat penjabaran undang-undang, perlu dibuat regulasi tambahan tidak sampai level provinsi tetapi sampai tingkat desa. Regulasi tentu tidak akan memberikan efek apa pun kalau tidak disertai sanksi. Sebagai contoh, perlu dibuat sanksi tertentu bagi pelaku pernikahan dini semisal dipersulit dengan sejumlah syarat tambahan ketika mengurus surat-surat saat akan bepergian dan denda sebagai kas desa. Bagi yang sudah terlanjur dikabulkan pengadilan, untuk penyelenggaraan perkawinan dini, masih perlu melalui pintu aturan perkawinan, bahwa pernikahan yang diselenggarakan tidak boleh membuat keramaian, seperti pesta mendatangkan undangan tamu secara terbuka.

Intinya, dalam rangka mencegah pernikahan dini, perlu dibuat sejumlah kebijakan dari hulu, sebelum akhirnya ‘terpaksa’ menjadi perkara di pengadilan. Dengan upaya itu, di satu sisi pernikahan sebagai salah satu bentuk HAM tetap dapat dilaksanakan. Di sisi lain, karena pernikahan dini tersebut termasuk kategori pernikahan yang ‘melanggar aturan’, maka diperlukan syarat lebih dibanding pernikahan biasanya;

Tanpa kepedulian dan keterlibatan serta ‘kearifan’ semua pihak dari “hulu sampai hilir” secara simultan, akan mustahil pernikahan dini dapat diminimalisasi apalagi dieliminasi.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait