PH Mantan Walikota Madiun: Hakim Tidak Mempertimbang Kewenangan Diskresi

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com- Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Jawa Timur, kembali menggelar sidang kasus korupsi dengan terdakwa mantan Walikota Madiun, H. Bambang Irianto, dengan agenda putusan, Selasa 22 Agustus 2017.

Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai
Unggul Warso Mukti, menyatakan terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan korupsi/gratifikasi dan pencucian uang sebagaimana dimadsud dalam pasal 12 huruf i dan huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

“Menyatakan terdakwa bersalah. Oleh karenanya, menghukum terdakwa selama 6 tahun penjara dikurangi selama terdakwa ditahan, membayar denda sebesar satu milyar subsider 4 bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim, Unggul Warso Mukti, dalam amar putusannya.

Putusan ini lebih ringan tiga tahun dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada KPK, yang menuntut terdakwa selama 9 tahun penjara. Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun JPU menyatakan pikir-pikir.

“Kami menyatakan pikir-pikir. Masih ada waktu satu minggu untuk menyatakan sikap,” kata penasehat hukum Bambang Irianto, Indra Priangkasa, kepada beritalima.com, Selasa 22 Agustus 2017, malam.

Masih menurut Indra, dakwaan kesatu pasal 12 i, tidak mempertimbangkan kewenangan deskresi kepala daerah. “Dasar majelis memutus perkara Pasar Besar Kota Madiun (PBM) dengan Perpres 54/2010, kurang tepat. Seharusnya dengan Perpres 80/2003. Karena lelang proyek tahun 2009. Sehingga ada kesalahan penerapan hukum,” terang Indra.

Dakwaan kedua pasal 12 b, lanjutnya, yang mengatakan terdakwa menerima gratifikasi, mengabaikan prinsip-prinsip pembuktian dalam pasal 184 KUHAP.

“Karena keterangan saksi yg menerangkan terdakwa menerima gratifikasi, tidak didukung bukti lain. Kemudian terkait posisi terdakwa dalam pemberian suap kepada anggota Forkopimda, terdakwa hanya pemberi perintah kepada SKPD. Sedangkan SKPD adalah pemberi suap kepada Forkompimda dan Forkompimda adalah penerima suap,” jelasnya.

Karena itu, tambahnya, tidak tepat penerapan pasal 12 b kepada terdakwa. “Seharusnya yang diterapkan pasal 5 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 sebagai pemberi perintah suap. Jadi ini telah terjadi kesalahan penerapan hukum. Ada lagi dakwaan ketiga pasal 3 UU 8/2010. Penghitungan kekayaan dilakukan dengan mengabaikan profil terdakwa sebagai pengusaha sejak 1972 sampai sekarang. Yang dijadikan dasar hanya kekayaan terdakwa saat menjabat walikota,” pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Bambang Irianto terjerat kasus korupsi pembangunan Pasar Besar Kota Madiun tahun 2009-2012. Selain itu, Bambang juga menerima gratifikasi. Uang itu diterima Bambang dari sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kota Madiun dan pengusaha. Tak hanya berkaitan dengan proyek Pasar Besar Kota Madiun. Karena mantan politikus partai Demokrat ini juga menerima uang berkaitan dengan perizinan dan honor pegawai. (Red/Dibyo).

Foto: Dok Dibyo/beritalima.com

beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *