Rindu Sekolah Tatap Muka Untuk SD, Ning Lia: Semoga Suara Kami Didengar Mereka

  • Whatsapp

SURABAYA, beritalima.com | Berjalan sejak Maret 2020, pelaksanaan sekolah daring (online) di Kota Surabaya, diakui aktivis asal Wonocolo, Ning Lia, menimbulkan rasa rindu yang besar pada Sekolah Tatap Muka. Hal ini dijelaskan oleh Ning Lia saat ditemui awak media pada Minggu (7/11), yang secara gamblang menyampaikan bahwa sekolah sejatinya dilaksanakan melalui institusi pendidikan.

“Saya sangat sepakat dengan Pak Nadiem Makarim, Mendikbud millenial, yang menyampaikan kekhawatiran terjadinya learning loss. Dalam hal ini, sekolah sebagai proses pembelajaran yang dilaksanakan di Lembaga pendidikan dengan proses dampingan langsung oleh guru. Sekolah dalam konteks tersebut, sangat dibutuhkan untuk anak tingkat SD.”

Ditambahkannya, rasa lelah dan rindu dengan Sekolah daring janganlah dinilai sebagai isapan jempol belaka.

“Taruhlah saya seorang ibu rumah tangga, yang memiliki doa dan harapan agar anak-anak tumbuh dengan lingkungan sebayanya, dan kemudian belajar bersama dengan teman-temannya dan didampingi guru setiap harinya. Mereka akan belajar tata krama dan kesungguhan belajar. Itu semua tidaklah mudah jika penerapannya lebih tergantung pada peran orang tua saja.”

“Dalam Sekolah, ada guru setiap pelajaran. Dalam Sekolah juga, anak-anak dipertemukan teman-teman untuk bermain dan belajar bersama. Monggo dipikir logika saja ya, apa bisa semua peran guru sekian pelajaran dan keberadaan teman-teman sebaya tergantikan oleh orang tua saja? Sedangkan banyak orang tua, terutama di perkotaan, yang harus bekerja dalam waktu panjang setiap harinya.”

Lebih lanjut, ning Lia tidak bermaksud menyalahkan Kebijakan pemerintah di daerah, melainkan berharap agar suara seorang ibu didengar dan diambil secara bijak.

“Setiap kebijakan memang memperhatikan keselamatan jiwa warganya. Namun, harus diperhatikan juga keselamatan akal dan moral, terutama direlevansikan pada perkembangan aspek motorik dan kognitif anak-anak yang seharusnya bersentuhan dengan literasi, bukan semata digitalisasi. Digital atau gadget jika tidak memiliki dasar sebagai penguatan literasi, apa bisa diandalkan sebagai pondasi pembelajaran?”

“Saya tidak menyalahkan siapapun, saya hanya ingin suara hati seorang ibu didengar oleh mereka para pemangku kebijakan. Semoga kita semua sama-sama berpikir menjaga kelangsungan moral dan ilmu anak-anak bangsa ini,” pungkasnya. (red)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait