Runway Bandara Sentani Digugat Adat. Ini Kata Kuasa Hukum

  • Whatsapp

SENTANI – Runway Bandar Udara Internasional Sentani atau Bandar Udara Dortheys Hiyo Eluay kembali akan digugat pihak adat Keondoafian Yahim Sentani lantaran urung adanya pergantian hak ulayat oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang membawahi Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) yang bertanggung jawab atas Bandar Udara tersebut.

Kuasa hukum Yakomina Felle, Sukma Sinukaban, S.H. mengaku jika pihaknya telah menerima kuasa khusus atas persoalan tersebut sejak 6 Oktober 2022 lalu oleh Yakomina Felle sebagai Ondofolo Niho Yahim, Pihaknya juga mengaku telah mendapat dukungan dari pemimpin-pemimpin adat yang lain, yang bertetangga langsung dengan Ondofolo Niho Yahim, dan semua sepakat dengan Keondofoloan kliennya.

“Setelah kami diberikan kuasa khusus tersebut, kami mempelajari dan memeriksa data-data yang diberikan oleh klien kami, terdapat fakta bahwa sengketa Tanah Runway seluas 28,7 Ha ini sebelumnya pernah juga digugat oleh Ondofolo Niho Yahim, yang kemudian diputus gugatan tidak dapat diterima atau dengan arti kata lain putusan perkara dengan Nomor 30/Pdt.G/2008/PN.Jpr tersebut bersifat NO (Niet Ontvankelijke Verklard), sehingga kami selaku kuasa hukum berpendapat atas putusan tersebut klien kami masih dapat melakukan gugatan ulang untuk memperjuangkan hak haknya,”kata Sukma, Minggu (23/10/2022) malam.

Dengan putusan NO itulah, pihaknya masih bisa memperkarakan kasus ini. Tentu juga atas dasar keinginan memperoleh keadilan untuk kliennya tersebut.

“Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa klien kami kalah lantaran putusan NO itu salah besar dan tidak berdasar,”tegasnya.

Kemudian, dikatakan, ada dugaan Ditjen Perhubungan Udara selama ini memanfaatkan tanah milik kliennya tersebut terkhusus pada bagian runway (landasan pacu, red) belum pernah dilakukan pembayaran ganti rugi tanah kepada kliennya selaku pemilik hak atas tanah adat tersebut.

Lalu, dari data surat menyurat yang telah dilakukan dari proses-proses sebelumnya oleh klien kami, terdapat fakta bahwa Ditjen Hubud selama ini menguasai tanah tersebut yang kemudian dibangun landasan pacu dengan dasar adanya dokumen Besluit van de Gouverneur Nederlands Nieuw Guinea Nomor : 63 Tahun 1961 dari Pemerintah Belanda dan New York Agreement tanggal 15 agutus 1962.

“Setelah kami melakukan pengkajian terhadap isi Besluit yang dimaksud, ternyata tidak ada satupun frasa yang menjelaskan adanya pemberian hak kepemilikan tanah kepada Kementrian Perhubungan, justru didalam besluit tersebut merupakan suatu penetapan spesifikasi konstruksi landasan pacu bandara sentani serta beberapa bandara lain di Papua seperti bandara Mopah di Merauke, bandara Rendani di manokwari dan bandara lainnya,”katanya.

Pihaknya juga melihat dokumen New York Agreement 15 agutus 1962, dijelaskan juga dokumen tersebut hanya peralihan kekuasaan bukan peralihan hak kepemilikan atau aset-aset Belanda kepada pemerintah Indonesia.

“Kalau memang sudah ada pembayaran kepada pihak belanda semestinya kementerian mampu menunjukkan bukti adanya pembayaran, tapi faktanya klien kami tidak pernah ditunjukkan adanya pembayaran dari pemerintah indonesia kepada Belanda”jelasnya,

Sehingga, dikatakan jelas tidak logis, kedua dokumen tersebut dijadikan dasar penguasaan tanpa ada penggantian kerugian kepada kliennya, apalagi terdapat fakta bahwa Belanda juga belum pernah melakukan pembayaran ganti rugi adat terhadap tanah yang digunakan tersebut.

“Kalau memang Besluit dan New York Agreement tanggal 15 agutus 1962 memiliki kekuatan hukum untuk menjadi dasar kepemilikan tidak mungkin hingga saat ini kami melihat pada halaman website BHUMI milik Kementrian ATR/BPN, warna tanah runway tersebut masih hijau yang artinya belum ada satu hak apapun yang diterbitkan oleh badan pertanahan atas tanah klien kami yang dikuasai oleh Pihak Bandara “ucapnya.

Pihaknya juga mempertanyakan keseriusan DPR RI yang mengetahui kasus sengketa tanah tersebut, karena ada surat yang telah dilayangkan kepada DPR RI, dengan harapan mampu membantu penyelesaian sengketa tanah tersebut. Namun kenyataannya sampai saat ini, tidak ada pihak DPR RI memberikan jalan keluar.

Pihaknya juga mempertanyakan tindak lanjut penyelesaian oleh Presiden Joko Widodo yang sebelumnya juga telah mengetahui kasus sengketa tersebut, karena melalui beberapa bukti foto, kliennya telah menyerahkan surat secara langsung kepada Presiden Jokowi di Istana Negara pada tahun 2014 lalu.

“Namun kenyataannya sampai saat ini tidak ada kabar. Malah kami mendapati ada pertemuan yang dilakukan oleh klien kami dengan Kementerian Perhubungan di Jakarta pada tanggal 11 Desember 2014 lalu, dimana dalam pertemuan tersebut pihak kementerian menyampaikan akan bersurat kepada kepala Bandara Sentani untuk mempertanyakan apakah Runway yang terletak di Bandara Sentani sudah memiliki sertifikat atau belum, jika belum maka harus melakukan pembayaran ganti rugi terhadap yang berhak, namun hingga kini hal tersebut tidak ada tindak lanjut padahal sudah jelas tanah yang berdiri diatasnya landasan pacu atau runway belum memiliki sertifikat,”ucapnya.

“Intinya klien kami mewakili keondofoloan Niho Yahim memiliki hak untuk mendapatkan keadilan atas tanah adat ini,”pungkasnya.

Caption foto : Sukma Sinukaban, S.H.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait