Suryadi Jaya Purnama Sebut Kereta Cepat Sudah Bermasalah Sebelum Lahir

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Sejak awal Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang menjadi proyek kebanggan Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah bermasalah. Berubahnya calon pelaksana proyek dari Jepang ke China merupakan suatu keputusan yang diambil secara tergesa-gesa oleh Jokowi.

Bagaimana mungkin, ungkap anggota Komisi V DPR RI yang membidangi Transportasi, Infrastruktut, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Suryadi Jaya Purnama, China yang sejak awal tidak ikut terlibat bisa membuat feasibility study secepat itu sehingga bisa menggantikan Jepang.

Sebab, kata wakil rakyat dari Dapil II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, pembuatan feasibility study pasti didahului survey dan sebagainya sehingga diduga, ada yang tidak beres dengan feasibility study yang dilakukan China.

Jadi, ungkap anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini kepada Beritalima.com, Minggu (12/9) petang, walau lebih murah, tetapi sepertinya kurang detail.

Demikian pula halnya dengan pembuatan Analisis Dampak Lingkungan (Aamdal) juga sepertinya sangat terburu-buru (waktunya sangat cepat dari biasanya), karena Jokowi ingin sekali menjadikan proyek Kereta Cepat ini sebagai mahakarya.

Keterburu-buruan tersebut, kata Suryadi menyebabkan kurang baiknya perencanaan pembangunan Kereta Cepat sehingga semua kejadian diatas memberikan andil terhadap membengkaknya biaya akibat rencana yang tidak matang sehingga banyak yang harus diperbaiki di sana sini.

Terkait pembengkakan itu, sudah diprediksi dan sejak awal kekhawatiran Fraksi PKS adalah akan adanya beban kepada keuangan negara. Karena, walau Jokowi menerbitkan Perpres No: 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta – Bandung.

Pada Pasal 4 ayat 2 sangat jelas dinyatakan Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah.

Namun, tetap saja Perpres ini tidak dapat menghapus ketentuan yang ada pada UU No: 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga menjadi dasar terbitnya Perpres itu. Pada penjelasan Pasal 2 ayat 1 huruf (b) dinyatakan, meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, tetapi dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Dengan demikian, penugasan Pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Dengan demikian, menurut penjelasan itu, kata Suryadi, Pemerintah tidak bisa melarikan diri dari kewajibannya membantu keuangan BUMN yang berpotensi mengalami kerugian akibat penugasan untuk menjalankan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini.

Dan, hal ini terbukti dari diberikannya Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) Rp 4,1 T untuk keperluan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Boleh dikatakan, pemberian PMN ini melanggar Perpres No: 107/2015 itu. Karena itu, Fraksi PKS menolak pemberian PMN ini sebab disaat ini juga ada masalah lain yang harus diselesaikan yaitu pandemi Covid-19.

Beberapa masalah selain keuangan juga sempat muncul dalam pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung, seperti meledaknya pipa Pertamina yang menyebabkan tewasnya salah satu pekerja, dan sempat terjadi banjir di beberapa titik di ruas tol Jakarta Cikampek.

Itu membuktikan kurang matang perencanaan dan kurang profesionalnya pengerjaan proyek Kereta Cepat ini. “Dengan banyaknya kekhawatiran yang menjadi kenyataan, untuk ke depan kita harus mewaspadai jangan sampai pengoperasian Kereta Cepat ini mengganggu bisnis PT KAI. Kita tahu, membengkaknya biaya proyek ini sekitar Rp 100 triliun lebih, operator Kereta Cepat harus berusaha keras melunasi hutang-hutangnya.
Dengan biaya sebelum pembengkakan saja diperkirakan operator harus membayarkan cicilan sekitar Rp1,45 triliun per tahun, apalagi sekarang dengan adanya pembengkakan 30 persen, kemungkinan bisa mencapai Rp 2 triliun per tahun.

“Operator Kereta Cepat tentu mengharapkan mendapatkan penumpang yang banyak, jangan sampai untuk mendapatkan penumpang yang banyak itu menggunakan cara-cara yang dapat mengganggu bisnis PT KAI,” demikian Suryadi Jaya Purnama ST. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait