Tidak Ada Toleransi Bagi Pelaku Kekerasan Seksual

  • Whatsapp
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina (foto: istimewa)

Jakarta, beritalima.com| – Kasus dugaan pelecehan seksual oleh penyandang disabilitas yang mencuat beberapa waktu ini, menyita perhatian banyak pihak. Kasus ini menyeret nama I Wayan Agus Suartama (IWAS), pria disabilitas asal Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat yang diduga melibatkan 13 korban.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina berharap proses hukum dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ia juga mendorong penegak hukum menggunakan pendekatan inklusif dalam kasus yang melibatkan penyandang disabilitas.

“Kita sepakat bahwa tidak ada toleransi terhadap tindak kekerasan seksual. Siapapun pelakunya, semua sama di mata hukum. Dan untuk mengetahui kebenarannya, diperlukan mekanisme yang adil bagi semua pihak,” ucap Selly.

Aparat hukum harus bekerja sama dengan ahli disabilitas dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa semua aspek terkait kondisi tersangka, termasuk hak-haknya, agar dapat diperhitungkan,” sebut Politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut di Jakarta, (6/12).

Dikemukakan Selly, upaya penegakan hukum dan rehabilitasi harus didukung demi mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual. Selain itu, tambah Selly, untuk menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual yang mana kedua hal tersebut menjadi amanat dari Pasal 3 huruf d dan e UU TPKS.

“Poin C menjelaskan tentang merehabilitasi secara menyeluruh agar poin d dan e bisa terwujud ke depannya. Artinya penegakan hukum dan rehabilitasi bagi pelaku harus dilakukan demi mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan kasus kekerasan seksual tidak terulang kembali,” papar Legislator dari dapil Jawa Barat VIII.

“Penegakan hukum harus dilakukan seadil-adilnya dan dilakukan dengan transparan serta komprehensif sehingga kita tahu kebenaran yang sebenarnya terjadi. Ini demi memastikan hak-hak korban dan tersangka sama-sama terlindungi,” tegas Selly

Pihak berwenang harus dapat memastikan keamanan dan perlindungan privasi bagi para korban. Termasuk, keamanan identitas korban yang harus dilindungi. “Ini untuk mencegah reviktimisasi dan menjaga privasi korban selama proses hukum. Bukti-bukti yang mendukung keterangan korban, termasuk hasil visum dan pemeriksaan psikologi juga harus digunakan secara hati-hati untuk memastikan bahwa hak-hak korban dilindungi tanpa mengabaikan keadilan bagi tersangka,” terangnya.

Laporan sinergi data kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL) menyatakan, sudah ada sebanyak 15.621 kasus perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2024.

Jurnalis: Rendy

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait