Utopia Kedamaian di Tanah Papua di Tengah Label Teroris

  • Whatsapp

Oleh Dr Filep Wamafma
Senator Papua Barat

PEMERINTAH tentu sadar, lahirnya UU Otonomi Khusus (Otsus) di Provinsi Papua serta Papua Barat didasari kenyataan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di kedua provinsi itu selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, terwujudnya penegakan hukum dan belum menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya terhadap masyarakat Papua.

Hal tersebut di atas secara jelas ditulis dalam Konsideran Menimbang UU Otsus. Kesenjangan pembangunan antara Provinsi Papua dan daerah lain di luar Papua pengabaian hak dasar penduduk asli Papua, perlindungan dan penegakan HAM yang kesemuanya menjadi ukuran bagi pemberlakuan Otsus di tanah Papua.

Apa yang ditulis di Konsideran Menimbang itu menyuguhkan cita-cita mulia negara untuk mengangkat marwah Papua ke derajat yang lebi tinggi. Apa semua itu terlaksana? Tahun demi tahun dilewati, dan fakta menunjukkan, tulisan di Konsideran Menimbang itu hanyalah sebuah utopia, mimpi yang tidak tercapai.

Kesejahteraan Provinsi Papua dan Papua Barat hanya dibuktikan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang terendah, persoalan HAM tidak pernah selesai, bahkan oleh Komnas HAM sekalipun tidak berujung tuntas. Orang Papua lalu bertanya, ada apa ini?

Dalam mimpi untuk maju dan sejahtera, arus diskriminasi rasial justru kerap dialami Orang Papua. Di pegunungan sana, perlawanan bersenjata terjadi. Ketidakpuasan, kemarahan, dendam yang berurat akar, akhirnya terkulminasi dalam perang yang celakanya mengorbankan rakyat sipil. Lalu Orang Papua bertanya, ada apa ini?

Jangan dilupakan, salah satu Konsideran Menimbang menyebutkan, telah lahir kesadaran baru kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional terkait pengakuan terhadap hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan HAM penduduk asli Papua.

Kesadaran inilah yang tak ditanggapi serius Pemerintah. Celakanya, alih-alih menjawab pertanyaan orang Papua tentang berbagai solusi untuk persoalan Papua, Pemerintah dengan serta merta memberi label teroris kepada Kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Logika sederhana masyarakat mengatakan, pelabelan itu merupakan tanda Pemerintah gagal memberi akses pada lahirnya kesadaran baru masyarakat Papua, gagal menciptakan kesejahteraan di Papua melalui UU Otsus, gagal mengedepankan kedamaian di Papua dan menjawab aspirasi rakyat Papua.

Tindakan ‘melemparkan kesalahan’ kepada KKB semakin menunjukkan Pemerintah lemah dalam membangkitkan rasa cinta orang Papua pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dentuman sejarah yang terus dipertanyakan, disertai dengan bumbu label teroris ini, sangat berbahaya bagi generasi Papua di masa mendatang.

Pemerintah tentu saja punya kuasa, negara punya wewenang menentukan status militerisme di Papua. Namun, apakah sudah ada kalkulasi matang mengenai potensi korban rakyat sipil yang jatuh akibat militerisme?
Bukankah perang hanya menimbulkan kebencian baru? Sekali lagi, inilah kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan Otsus. Sampai di sini Orang Papua akan bertanya, apa kabar nasib Otsus Jilid 2? Semoga tak ada perang lagi! Kitong su cape, Bapa Presiden.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait