Belum Diterima DPR RI, Baidowi: Jangan Tuding Kami Sembunyikan RUU Omnibus Law

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi mengaku, DPR RI saat sampai saat ini belum menerima draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.

Hal ini diungkapkan anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu dalam forum legislasi dengan tema ‘RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Dipending?’ bersama anggota Komite I DPD RI, Filep Wamafma, politisi senior, Effendi MS Simbolon serta Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (11/2).

Menurut wakil rakyat Dapil XI Provinsi Jawa Timur tersebut, DPR RI sampai hari ini belum meneirma draf RUU Omnibus Law, baik terkait dengan cipta lapangan kerja maupun perpajakan. Karena itu jangan tuding DPR RI telah menyembunyikan RUU tersebut. “Selama ini yang tertuduh RUU Omnibus Law itu selalu DPR. Padahal kami belum menerima draf RUU Omnibus Law dari Pemerintah. Masyarakatnya merespon pro dan kontra. Itu draf yang mana?”

Baidowi mendesak Pemerintah segera mengirimkan draf RUU Jakarta (medanposonline.com) – DPR RI sampai saat ini belum menerima draf RUU Omnibus Law. Demikian Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi mengatakan dalam
dalam forum legislasi “RUU Omnibus Law, Mana yang Prioritas, Mana yang Dipending?’ bersama anggota Komite I DPD RI Filep Wamafma, pengamat hukum tata negara Margarito Kamis dan Effendy Simbolonm, Selasa (11/2) di DPR RI Jakarta.

Menurut Achmad Baidowi, DPR RI sampai hari ini belum meneirma draf RUU Omnibus law. Baik yang terkait dengan cipta lapangan kerja maupun perpajakan. Karena itu jangan tuding DPR sembunyikan RUU tersebut. “Selama ini yang tertuduh RUU Omnibus law itu selalu DPR. Padahal kami belum menerima draf-nya. Masyarakat pun merespon pro dan kontra. Itu draf yang mana?” katanya.

Karena itu, pemerintah didesak segera mengirimkan draf RUU Omnibus Law sehingga segera bisa dibahas dan pasti melibatkan berbagai kelompok kepentingan masyarakat. “Jadi, draf yang diprotes masyarakat itu benar atau tidak, DPR tidak tahu,” jelas dia.

Pada prinsipnya DPR pasti mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun, aspek kemanusiaan lainnya harus mendapat perhatian, seperti perlindungan hukum, jaminan kerja dan sebagainya. “Jadi, karena draft belum ada, DPR tidak akan membahas yang tak ada, nanti ikut ilegal,” tutur Baidowi.

Filep Wamafma meminta kejelasan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati. Khususnya di Papua terkait Sumber Daya Alam (SDA), karena meski sudah ada Otonomi Khusus (Otsus), tetapi semua perizinan masih ditangani Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Selain itu, meski ada kewenangan di tingkat Bupati (Otda), tapi pada pelaksanaannya masih harus dapat izin dari Gubernur dan seterusnya. “Saya kira itulah yang perlu disempurnakan, agar tidak ada tumpang tindih kewenangan di daerah dan pusat,” tutur Filep Wamafma.

Margarito Kamis mengatakan mustahil sebuah UU yang merupakan kumpulan dari berbagai aturan perundang-undangan dilakukan selama 100 hari. “Amerika saja membahas UU Kompetitif law itu selama 3 tahun dengan membentuk 9 Komite,” tuturnya.

Begitu juga Effendi Simbolon. Berbicara Omnibus Law, kata anggota Komisi I DPR RI ini, adahal yang baru bagi Indonesia. Namun, pada prinsipnya kalau yang kita dengar ini adalah cara yang ingin di jadikan sebuah terobosan untuk mencari bagaimana menyederhanakan hampir seluruh undang-undang yang menjadi pedoman dalam khususnya berinvestasi di Indonesia.

Yang kita dengar, kata dia, ini adalah cara bagaimana menyederhanakan seluruh, sekian puluh UU dan bahkan peraturan turunannya dan kemudian menjadi empat Omnibus Law yang menjadi tatanan perundangan yang menjawab bagaimana dinamika lima tahun kedua dari periode Jokowi ini

Pada prinsipnya DPR pasti mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Namun, aspek kemanusiaan lainnya harus mendapat perhatian. Seperti perlindungan hukum, jaminan kerja, dan sebagainya. “Jadi, karena draft belum ada, maka DPR tak akan membahas yang tak ada, nanti ikut ilegal,” tutur Achmad Baidowi.

Sedangkan Filep Wamafma mengatakan hanya meminta kejelasan kewenangan antara Pmerintah Pusat, Gubernur dan Bupati. Khususnya di Papua terkait sumber daya alam (SDA), karena meski sudah ada otonomi khusus (Otsus), tapi semua perizinan masih ditangani oleh BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Selain itu, meski ada kewenangan di tingkat Bupati (Otda), tapi pada pelaksanaannya masih harus dapat izin dari Gubernur dan seterusnya. “Saya kira itulah yang perlu disempurnakan, agar tidak ada tumpang tindih kewenangan di daerah dan pusat,” tutur Filep Wamafma.

Sementara itu Margarito Kamis mengatakan mustahil sebuah UU yang merupakan kumpulan dari berbagai aturan perundang-undangan dilakukan selama 100 hari. “Amerika saja membahas UU Kompetitif law itu selama 3 tahun dengan membentuk 9 Komite,” tuturnya.

Effendi Simbolon mengatakan bicara Omnibus Law adahal yang baru bagi Indonesia tetapi prinsipnya kalau yang kita dengar ini adalah cara yang ingin di jadikan sebuah terobosan bagaimana menyederhanakan hampir seluruh undang-undang yang ada yang selama ini menjadi undang-undang, menjadi pedoman dalam khususnya berinvestasi di Indonesia.

Tetapi pointnya yang kita dengar sih, Ini adalah cara bagaimana menyederhanakan seluruh, sekian puluh UU dan bahkan peraturan turunannya dan kemudian menjadi empat Omnibus Law yang menjadi tatanan perundangan yang menjawab bagaimana dinamika lima tahun kedua dari periode Jokowi ini. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait