Catatan Em Saidi Dahlan : ‘Sang Doktor’

  • Whatsapp

September 2013: Untag Surabaya ‘meluluskan’ seorang promovendus, candidate doktor, seorang yang sangat terpelajar—istilah yang digunakan oleh guru besar kepada promovendus pada ujian akhir–dalam promosi doktor, atau lebih dikenal dengan ujian terbuka. Disertasinya ‘dianggap’ nyeleneh, menarik, dan tidak biasa dalam fakultas yang mendalami ilmu ekonomi. Biasanya, di berbagai PTN dan PTS yang melahirkan doktor, pendidikan formal tertinggi itu, jenis penelitian bidang ekonomi cenderung kuantitatif yang tak jauh dari ekonometrika, dan hampir pasti menghindari kualitatif. Tapi doktor yang satu ini kualitatif. Dan ia, saat itu, doktor satu-satunya yang menyusun disertasinya dengan kualitatif.

Pak Sakerah bercerita:

Dalam menyusun disertasinya, ia turun ke pesisir-pesisir di wilayah Madura, mengungkap kemiskinan masyarakat nelayan. Puluhan, bahkan ratusan orang nelayan diwawancarai. Puluhan juragan didekati. Kegiatan puluhan bakul dan pengepul diperhatikan, lalu dikonfirmasi. Di lapangan ia merekam, mencatat, mengabadikan dalam blitz, dan didiskusikan dengan berbagai lapisan tentang sederet kegiatan nelayan di pesisir yang masih tetap kumuh, miskin dan tak terpelajar. Orang-orang di luar sana, di depan meja, berasumsi: kemiskinan nelayan adalah kemiskinan struktural; sebagian yang lain berpendapat sebagai kemiskinan absolut; dan yang lain lagi berbeda, sebagai kemiskinan relatif. Tapi yang jelas: miskin—itu tidak bisa dibantah.

Sang doktor itu menemukan banyak hal tentang status kemiskinan nelayan. Lalu, dari hasil penelitiannya, ia mempertahankannya di depan penguji. Puluhan guru besar mengacungkan jempol, isyarat setuju. Ia dipuji, dan rekomendasinya untuk Daerah yang memiliki pesisir pantai. Ia berhasil menjadi doktor. Sayangnya, sampai lima tahun ini, nelayan tetap miskin.

Sembilan tahun sebelum itu, 14 tahun lalu; 2004: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyusun disertasinya berjudul “Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Kebijakan Ekonomi, Politiki dan Fiskal” di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitiannya menarik, apalagi bersamaan dengan SBY-JK yang lolos putaran kedua pada Pilpres langsung pertama, kala itu. Doktornya excellent, sebab di IPB menjadi syarat. Hasil temuannya menarik: rezim pemerintahan akan meningkatkan pengangguran dan reformasi makin meningkatkan kemiskinan jika pembangunan infrastruktur tidak dilakukan dengan baik, dan kebijakan fiskal akan memengaruhi kesejahteraan petani.

Lebih lanjut, menurut SBY, jika terpilih menjadi presiden, kelak: hasil penelitian itu akan dijadikan pedoman; dalam bahasa ‘gaul’ sebagai sandaran untuk menentukan arah ‘kiblat’ petani. Dalam bahasa yang sederhana, jika SBY benar-benar menjadi presiden, petani akan makmur; dan tentu pangan di Indonesia tidak akan pernah langka, apalagi sampai impor segala. Sayangnya, sampai SBY mengakhiri dua priode jabatannya sebagai presiden, petani kita tetap miskin, kumuh, dan hanya berlepotan lempung sepulang kerja. Sawah kita tetap gembur, sementara tangan-tangan petani kita tidak mampu mengolahnya karena ketiadaan teknik, keterbatasan infrastuktur, dan yang paling parah: kehilangan akal.

Setara: nelayan di pesisir sana, dan petani jauh di udik masih miskin. Berbagai penelitian diproduk dari kemiskinan nelayan dan petani—termasuk SBY yang bisa meraih doktor karena petani kita miskin. Dan, jika nelayan dan petani kita dipertahankan sebagai masyarakat miskin, maka akan banyak doktor ekonomi dan pertanian yang lahir karenanya. Jangan khawatir!

Anda, kata Pak Sakerah, jangan tanya bagaimana dengan Pak Jokowi yang insinyur kehutanan dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogjakarta, misalnya: Apakah hutan kita semakin menghijau?; Apakah hutan kita tidak jadi terbakar?; Apakah tidak ada pembalakan liar?; Apakah lahan hutan kita semakin sempit?; Apakah hutan di Kalimantan dan Papua akan disulap menjadi kota?—ini bukan urusan Anda. Sebab, ‘status-akun’ yang kita viralkan kali ini: ‘Sang Doktor’—sebuah sinisme pendidikan dengan pekerjaan yang bersengkulat. Lagi pula, kata Pak Sakerah lebih lanjut, Pak Jokowi belum meraih doktor, meski tidak sedikit perguruan tinggi di luar sana yang siap menyandangkan honoris causa, sebuah kehormatan akademik yang saling berebut.

Komat berkata nyinyir, “Pak Jokowi lebih komplit: seorang insinyur kehutanan, mampu membangun jalan tol trans Sumatera, tol trans Papua, dan tol lainnya di Jabodetabek serta daerah lain. Panjang seluruhnya mencapai 1642,42 km. Sebuah capaian yang luar biasa.”

“Sayangnya beliau lupa melakukan revolusi mental, sebagaimana yang dijanjikan,” Kamit menambah.

“Apa Pak Jokowi salah pilih jurusan ya?” seorang guru SD paro baya yang sarjana pendidikan, yang sampai kini masih berstatus GTT dan tak berhonor menyeletuk. “Mestinya beliau pilih jurusan teknik, konsentrasi jalan tol trans. Hasilnya, jalan tol trans tentu akan jauh lebih baik, meski Pak SBY sendiri yang doktor pertanian belum sempat mengangkat nasib petani.”

“Bagaimana dengan revolus mentalnya?” Komat tertarik berdiskusi.

“Sekalian, beliau ambil jurusan psikologi plus pendidikan,” sahut guru tadi.

“Apa maksudnya?” serempak tiga tokoh Madura: Pak Sakerah, Komat dan Kamit semakin penasaran.

“Agar kalian,” katanya sambil menunjuk ketiga laki-laki itu, “bermental seperti guru SD yang GTT. Demi anak bangsa dengan ikhlas mengajar, meski tak berbayar; mendidik dengan hati, meski tanpa gaji; bekerja tanpa mengenal waktu meski sering diganggu; melengkapi segebuk administrasi, meski foto kopi biaya sendiril tidak pernah kecewa, meski sering dituntut orang tua; siap dituntun, dibimbing, diteladani, dimarahi, bahkan dipecat oleh orang-orang kota!” geram sekali wanita paro baya itu berkata, sambil berkacak pinggang, bak melakukan demonstrasi di depan kantor Pak Jokowi.

Ketiga laki-laki itu kaget. Tidak bisa membantah apa-apa, sebab ia mewakili banyak GTT, meski tidak mewakili ‘Sang Doktor’.

“Tidak usah marah, Ibu,” pelan sekali Pak Sakerah berkata penuh hormat, “kita sedang membicarakan status-akun ‘Sang Doktor’. Pembicaraan status-akun ‘GTT Ikhlas Bhakti’ tidak bisa sekarang, sebab butuh waktu lama, butuh Permendikbud, bahkan sampai Perbup. Perlu dibicarakan di ruang parlemen dengan segala macam teori dan kalkulasi. Perlu SKB 3 Menteri: Mendikbud, Menag, dan Menkeu. Dan beliau-beliau itu sulit ketemu karena sibuk. Sabarlah, Ibu: tempatmu kelak: Syurga.”

GTT paro baya itu diam, membeku. Rupanya ia menyadari: status-akun yang diviralkan kali ini ‘Sang doktor’. Itu saja.*

Panorama Pagi – 27 Januari 2018

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *