Fadli Zon: Jangan Biarkan Demokrasi Indonesia Mundur

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Lima tahun terakhir kehidupan berdemokrasi yang menjadi tuntutan reformasi 1998 terus mengalami kemunduran. Indikatornya, selama pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) kebebasan sipil kondisinya terus memburuk.

Penilaian tersebut, kata Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon dalam keterangan tertulis yang diterima awak media, Kamis (21/11), telah dikemukakan berbagai lembaga, baik internasional maupun dalam negeri.

Terakhir, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu, awal November 2019, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), kebebasan sipil di Indonesia yang merupakan fondasi dari demokrasi, kondisinya semakin memprihatinkan.

Menurut LSI, ada 43 persen responden yang merasa masyarakat saat ini semakin takut berbicara politik. Jumlah ini telah meningkat lebih dari 100 persen dibanding hasil survei tahun 2014, di mana waktu itu yang mengutarakan ketakutan serupa hanya 17 persen. Dari survei yang sama, diperoleh keterangan jika ketakutan masyarakat umumnya dipicu kian maraknya penangkapan semena-mena oleh aparat hukum.

Selain takut berbicara politik, kata wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat itu, orang kini juga cenderung takut berorganisasi. Ada 21 persen responden yang menganggap warga sekarang takut berorganisasi. Akhir masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau 2014 hanya 10 persen.

Selain soal kebebasan berpendapat dan berserikat, masyarakat juga memberikan penilaian buruk terhadap kondisi kebebasan pers saat ini. Ada 38 persen responden yang beranggapan media massa saat ini tidak bebas, bahkan disensor pemerintah.
Seluruh hasil survei ini, kata Fadli, hanya menegaskan anggapan umum yang telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir bahwa kondisi kebebasan sipil yang menjadi fondasi demokrasi di negeri kita memang terus memburuk.

“Demokrasi kita mengalami kemunduran. Hak-hak warga yang dijamin konstitusi untuk menyatakan pendapat baik lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul, dirasakan telah dipasung negara.”

Tahun lalu, lembaga Economist Intelligence Unit juga mencatat indeks demokrasi Indonesia berada di skor 6,39, yang menunjukkan kita tergolong sebagai negara berkategori ‘flawed democracy’ alias demokrasi yang cacat.

Skor ini jelas tergolong buruk karena di ASEAN, Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Malaysia dan Filipina. Kita bahkan hanya satu tingkat berada di atas Singapura, yang meski perekonomiannya sangat maju tetapi demokrasinya bisa disebut terbelakang.Temuan dan indikator ini, jelas Fadli, harus menjadi tanda bahaya (alarm) terhadap nasib demokrasi Indonesia.

Jika dua penilaian di atas belum cukup, dalam indeks kebebasan yang disusun Freedom House (lembaga nirlaba yang berkantor di Washington, AS), peringkat Indonesia juga terus turun dibandingkan periode pemerintahan Presiden SBY.

Pada masa Pemerintahan SBY, status Indonesia masih tergolong sebagai negara ‘Bebas’ (Free). Namun, di bawah pemerintahan Jokowi, status Indonesia menjadi ‘Setengah Bebas’ (Partly Free).

Freedom House menyebut, kemunduran kebebasan ini salah satunya terjadi karena adanya multitafsir dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ((UU ITE) serta kembalinya wewenang sepihak pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dinilai tidak sepaham dengan Pancasila.

Kondisi ini dianggap sebagai bentuk kemunduran sehingga, indeks kebebasan berekspresi di Indonesia turun, dari ‘free’ menjadi ‘partly free’.

Hasil dari berbagai riset tersebut menggambarkan setidaknya ada empat indikator utama kemunduran demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi.

Itu disebabkan melemahnya kebebasan berpendapat dan berekspresi, mundurnya kebebasan akademik, meningkatnya aksi kekerasan oleh aparat dan tersanderanya aktivitas serikat buruh.

Sejak Januari hingga Oktober tahun ini, menurut data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YBLHI), lebih dari 6.000 orang menjadi korban pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat di muka umum. Dari jumlah itu, 51 di antaranya bahkan meninggal, dan 324 orang di antaranya masuk kategori anak.

Menurut YLBHI, mayoritas pelakunya adalah aparat. Kepolisian menjadi pelaku tertinggi dengan persentase 69 persen, disusul TNI tujuh persen dan Ormas lima persen.

Dalam bidang akademik, meminjam data Lokataru, tercatat 57 kasus pembatasan kebebasan akademik, antara lain pelarangan dan pembubaran diskusi, intimidasi dosen dan mahasiswa.

Kampus yang seharusnya menjadi cagar alam kebebasan akademik, kini justru kian mirip lembaga sensor dan sekadar menjadi kepanjangan tangan kepentingan rezim.

Terkait soal buruh, sejak lama Fadli melihat terbitnya PP No. 78/2015 bukan hanya telah menyuburkan praktek ‘outsourcing’, kontrak dan magang tetapi juga telah mempersulit kaum buruh mendapatkan status sebagai pekerja tetap.

Akibatnya, lanjut Fadli, bisa dilihat meski jumlah tenaga kerja dan perusahaan terus bertambah tapi jumlah serikat buruh dan buruh yang tergabung dalam serikat justru kian menurun.

Menurut data Kementerian Tenaga Kerja, saat ini jumlah perusahaan di Indonesia ada sekitar 230 ribu. Namun, perusahaan yang memiliki serikat pekerja justru turun dari sebelumnya 14 ribu perusahaan, menjadi 7.000.

Pada sisi lain, jumlah buruh yang masuk serikat pekerja juga mengalami penurunan. Pada awal Reformasi, jumlah buruh yang masuk serikat pekerja sembilan juta orang. Sekarang, tinggal 2,7 juta. “Ini tentu saja bukan situasi yang menguntungkan kaum buruh.”

Kondisi kemunduran demokrasi semacam ini, ucap pria kelahiran Jakarta, 1 Juni 1971 itu, tentu saja sangat kontras dengan Nawacita yang dulu dijanjikan Presiden Jokowi. Jika kita baca kembali, poin kedua Nawacita dengan jelas berbunyi, ‘Membuat pemerintah tidak absen membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis dan terpercaya, dengan memberikan prioritas kepada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Dikatakan Fadli, kita tentu tak ingin kehidupan demokrasi kita terus menurun dan memburuk. Presiden harus memperhatikan isu ini. Jangan sampai di akhir periode keduanya kelak, dia akan dikenang sebagai memori buruk warganya.

“Jangan sampai legacy yang ditinggalkan adalah kemunduran dan hancurnya demokrasi di Indonesia. Jadi, suka atau tidak suka, perlu ada perbaikan iklim demokrasi dalam lima tahun ke depan,” demikian Fadli Zon. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *