Pakar Politik UNAIR Nilai Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com|
Isu penundaan pemilu yang diusulkan oleh sejumlah petinggi parpol masih bergulir di masyarakat. Menanggapi hal ini, Prof Ramlan Surbakti Drs MA PhD menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan asas periodik pemilu.

“Seperti disebutkan dalam Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, pemilu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” jelasnya.

Menurutnya, jika pemilu ditunda maka akan memperpanjang masa jabatan presiden dan DPR. itu bertentangan dengan asas periodik atau reguler. Lebih jauh, dia juga menuturkan bahwa ketika masa jabatannya habis, presiden dan wakil presiden tidak lagi memiliki legitimasi.

“Setelah 20 Oktober 2024, presiden dan wakil presiden tidak punya kewenangan lagi untuk membuat keputusan, undang-undang, atau APBN,” jelasnya.

Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) itu juga mengatakan, penundaan pemilu mengingkari kedaulatan rakyat yang berhak menilai dan menuntut akuntabilitas dari petahana. Dampaknya, dikhawatirkan akan terjadi banyak protes dari masyarakat. Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan negara untuk menghadapi protes-protes tersebut sangat mahal.

“Mungkin lebih mahal dari pemilu,” imbuhnya.

Mantan ketua KPU 2004-2007 itu juga menjelaskan bahwa ada beberapa pihak yang kontra dengan biaya pemilu yang akan datang, sebesar 72 triliun. Akan tetapi, Prof Ramlan mengungkapkan bahwa biaya tersebut bukan pemborosan jika melihat risiko delegitimasi presiden dan DPR.

“Itu hanya di atas kertas,” ungkapnya.

Imbasnya, lembaga-lembaga negara yang pengangkatannya bergantung pada legitimasi presiden dan DPR bisa lumpuh. Jika presiden dan DPR tidak lagi memiliki legitimasi, lembaga-lembaga yang ditunjuk, seperti BPK dan KPU, juga tidak berlegitimasi.

“Jadi kalau tidak ada pemilihan umum, roda organisasi negara itu tidak bisa berfungsi dan harganya lebih mahal daripada pemilu,” tuturnya.

Guru Besar Ilmu Politik UNAIR itu juga berharap agar Presiden Joko Widodo menegaskan sikapnya atas isu tersebut. Sehingga masyarakat bisa lebih fokus ke hal-hal lain yang lebih penting.
Di lain sisi, terdapat isu pergantian konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau membolehkan presiden dipilih untuk tiga periode. Akan tetapi, Prof Ramlan menuturkan bahwa tidak akan mudah mengganti konstitusi sekadar untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

“Kalau isunya itu saya kira tidak akan lolos,” pungkasnya. (Yul)Pakar Politik UNAIR Nilai Penundaan Pemilu Melanggar Konstitusi

SURABAYA, Beritalima.com|
Isu penundaan pemilu yang diusulkan oleh sejumlah petinggi parpol masih bergulir di masyarakat. Menanggapi hal ini, Prof Ramlan Surbakti Drs MA PhD menyatakan bahwa hal ini bertentangan dengan asas periodik pemilu.

“Seperti disebutkan dalam Pasal 22 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, pemilu diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali,” jelasnya.

Menurutnya, jika pemilu ditunda maka akan memperpanjang masa jabatan presiden dan DPR. itu bertentangan dengan asas periodik atau reguler. Lebih jauh, dia juga menuturkan bahwa ketika masa jabatannya habis, presiden dan wakil presiden tidak lagi memiliki legitimasi.

“Setelah 20 Oktober 2024, presiden dan wakil presiden tidak punya kewenangan lagi untuk membuat keputusan, undang-undang, atau APBN,” jelasnya.

Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga (UNAIR) itu juga mengatakan, penundaan pemilu mengingkari kedaulatan rakyat yang berhak menilai dan menuntut akuntabilitas dari petahana. Dampaknya, dikhawatirkan akan terjadi banyak protes dari masyarakat. Dalam hal ini, biaya yang dikeluarkan negara untuk menghadapi protes-protes tersebut sangat mahal.

“Mungkin lebih mahal dari pemilu,” imbuhnya.

Mantan ketua KPU 2004-2007 itu juga menjelaskan bahwa ada beberapa pihak yang kontra dengan biaya pemilu yang akan datang, sebesar 72 triliun. Akan tetapi, Prof Ramlan mengungkapkan bahwa biaya tersebut bukan pemborosan jika melihat risiko delegitimasi presiden dan DPR.

“Itu hanya di atas kertas,” ungkapnya.

Imbasnya, lembaga-lembaga negara yang pengangkatannya bergantung pada legitimasi presiden dan DPR bisa lumpuh. Jika presiden dan DPR tidak lagi memiliki legitimasi, lembaga-lembaga yang ditunjuk, seperti BPK dan KPU, juga tidak berlegitimasi.

“Jadi kalau tidak ada pemilihan umum, roda organisasi negara itu tidak bisa berfungsi dan harganya lebih mahal daripada pemilu,” tuturnya.

Guru Besar Ilmu Politik UNAIR itu juga berharap agar Presiden Joko Widodo menegaskan sikapnya atas isu tersebut. Sehingga masyarakat bisa lebih fokus ke hal-hal lain yang lebih penting.
Di lain sisi, terdapat isu pergantian konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau membolehkan presiden dipilih untuk tiga periode. Akan tetapi, Prof Ramlan menuturkan bahwa tidak akan mudah mengganti konstitusi sekadar untuk memperpanjang masa jabatan presiden.

“Kalau isunya itu saya kira tidak akan lolos,” pungkasnya. (Yul)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait