Hancurnya Rasa Keadilan Rakyat

  • Whatsapp

Oleh : Yunanto, Wartawan Senior Malang

Sekitar delapan bulan lagi, 17 April 2019, pemilu legislatif 2019 digelar. Lazim disebut dengan terminologi “pesta demokrasi”. Istilah yang sangat mentereng, terhormat, bahkan “keramat”.

Fakta tidak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi. “Pesta demokrasi” di Kota Malang, 2014 lalu, kini malah membuahkan petaka. Sebanyak 41orang anggota DPRD hasil pilihan rakyat Kota Malang, telah “berkhianat secara berjamaah”: korupsi !
Puluhan anggota dewan yg kerap diberi predikat “wakil rakyat yang terhormat” itu, berurusan dengan KPK. Inilah institusi penegakan hukum yang tidak mengenal penghentian penyidikan perkara (SP3). Tersangka pasti menjadi terdakwa. Selanjutnya berubah jadi terpida. Di penjara berjuluk napi (narapidana). Lulus dari “kampus hitam” (penjara) bertitel mantan napi. Itu pasti.

Lantas, dimana kehormatan “wakil rakyat yang terhormat” itu?
Rakyat Kota Malang kini kecewa, wajar. Lebih dari itu, marah dan mengumpat pun wajar saja. Kepercayaan rakyat telah diciderai. Rasa keadilan rakyat “dikencingi”. Parah!
Pembelajaran seperti apa yang bisa dipetik dari kasus memalukan seperti itu?. Akal sehat atau nurani dahulu yang mesti “bicara”?. Rasa kecewa kini telah bersinergi dengan amarah. Akal atau nurani dulu yang merespon, menjadi tidak penting.
Kini tinggallah satu aksioma yang tercecer di gedung megah, timur Alun-alun Bunder. Rakyat semak yakin, di “rumah rakyat” (gedung DPRD Kota Malang) itu, rasa malu memang telah lama sirna. Keadaban telah dinominalkan dengan satuan rupiah. Bila rasa malu tidak bersemayam lagi di keadaban, masih layakkah harapan dan kehormatan disematkan kepada mereka? Tidak !.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Masuk ranah pidana khusus (pidsus). Namun embrio kejahatan ini sesungguhnya sama saja dengan “janin” pidana umum (pidum). Konkretnya, “perkawinan” antara niat dengan kesempatan. Ada niat, tidak ada kesempatan, tidak lahir tindak pidana.

Begitu pula bila ada kesempatan, tapi tidak ada niat melakukan pidana.
Jadi, kata kuncinya hanya diniat dan kesempatan. Bagi wakil rakyat yang semoga saja masih “terhormat”, menurut saya kata kuncinya ada di niat. Mengapa? Pasalnya, kesempatan untuk korupsi selalu ada di institusi legislatif. Sama dengan di instusi eksekutif maupun yudikatif.

Niat itulah “sikap batin” sekaligus unsur pembangkit untuk melakukan tindak pidana. Dikenal dengan istilah “mens rea auto delictum”.
Sedangkan perbuatan pidananya yang kasat mata dan bisa dibuktikan, disebut “actus reus auto delictum”. Konklusi opini saya Selasa (4/9/2018) sore ini, mencoba mencari bekal untuk menghadapi “pesta demokrasi” April 2019. Jangan lagi “memilih kucing dalam karung”. Saya tidak ingin turut serta melahirkan koruptor, karena mereka saya pilih dan lolos jadi anggota dewan. Saya harus serius mencermati sepak terjang caleg dalam konteks parameter “mens rea auto delictum”-nya.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *