Hari Ini 1 September 1948, Polwan Lahir di Bukittinggi

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

beritalima.com | HARI ini, 1 September 1948, 71 tahun silam, Polisi Wanita (Polwan) lahir di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Waktu itu negara kita dalam keadaan “darurat perang” menghadapi kembalinya Pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia, setelah Indonesia memproklamasikan Kenerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sebagai tanda bahwa Kota Bukittinggi adalah tempat lahirnya Polwan, di sana berdiri sebuah bangunan “Monumen Polisi Wanita” yang terletak di Jalan M.Sjafei, Bukittinggi.

Dalam catatan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), saat Polwan dinyatakan “lahir”, ada enam srikandi di Kota Bukittinggi yang dianggap sebagai pelopor Polisi Wanita atau Polwan. Mereka adalah gadis-gadis Minang yang waktu itu baru menyelesaikan pendidikannya di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Namanya: Mariana, Nelly Pauna, Rosmalina, Dahniar, Djasmainar dan Rosnalia.

Pada tahun 1948 itu, Belanda datang kembali ke Indonesia, membonceng dengan tentara Sekutu. Mereka berambisi berkuasa kembali. Kendati sudah ada kesepakatan melalui perundingan, berulangkali dilanggar. Waktu itu, ibukota negara kita berada dalam pengungsian, di Jogjakarta. Kota Jakarta, sudah dikuasai kolonial Belanda. Serangan Belanda tidak hanya di Jakarta dan ke Jogjakarta, tetapi juga ke Bukittinggi, Sumatera Barat.

Kota Bukittinggi, kala itu menjadi ibukota Provinsi Sumatera. Nah, saat pengungsian itu, termasuk di Sumatera, penduduk mengungsi, menjauhi titik-titik pertempuran demi keselamatan diri dan keluarga. Pemerintah republik waspada terhadap gelombang pengungsi itu, khawatir disusupi mata-mata musuh. Waktu itu, banyak pengungsi perempuan yang tidak bersedia diperiksa petugas laki-laki, terutama secara fisik. Hal ini tentu menyulitkan, apalagi ada kecurigaan, pihak Belanda menggunakan wanita pribumi sebagai mata-mata.

Agar pemeriksaan terhadap pengungsi bisa berjalan lancar, maka dimintalah bantuan relawan wanita. Namun, karena statusnya bukan polisi, tetntu pekerjaan mererka terbatas hanya sebagai “pembantu polisi” Untuk mengatasi masalah itu pemerintah RI memberikan mandat kepada Sekolah Polisi Negara (SPN) di Bukittinggi untuk membuka pendidikan kepolisian bagi perempuan. Dari sekian yang mendaftar, terpilih enam orang gadis remaja itu.

Setiap peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Polwan, hampir selalu kisah ini diungkap kembali. Demikian pula pada peringan HUT ke-71 Polwan hari Ahad, 1 September 2019 ini di Jakarta. Namun, ada perbedaan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Suasana yang terjadi di tanahair sangat ini, memberi warna pada HUT ke-71 Polwan.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, selain menjadi Irup (Inspektur Upacara) di Mapolda Metro Jaya, tampil menyanyikan lagu asal Papua bertajuk Rasine Ma Rasine. Budaya Papua dijadikan tema perayaan. Kecuali menyanyilagu-lagu daerah Papua, juga digelar tari-tarian dengan busana adat Papua.

Situasi keamanan akibat terjadinya berbagai aksi unjukrasa di berbagai kota di Papua dan Papua Barat, membuata susana tidak kondusif. Apalagi akibat kerusuhan di Papua itu, beberapa prajurit TNI dan Polri yang terluka dan gugur. Satu di antaranya adalah personel TNI AD, Sertu Rikson Edi Chandra anggota kodam II Sriwijaya yang telah gugur di Deiyai. Papua.

Jenderal Tito Karnavian, menyebut saat ini anggota Polri lebih-kurang 400 ribu, sementara jumlah anggota Polwan sekitar 30 ribu, berarti hampir 10 persen. Dari enam orang sebagai pelopor, jumlah itu akan terus dinaikkan. Bahkan, Tito ingin nantinya Polwan itu sekurang-kurangnya 30 persen dari jumlah Polri.

Kapolri berharap semakin banyak polisi perempuan yang menempati posisi-posisi strategis di kepolisian. Namun, apakah itu bisa terwujud, mengingat sejarah panjang perkembangan Polwan yang terkadang kurang menggembirakan.

Nah, kalau kita urut kembali jejak langkah Polwan, sejak lahir hingga sekarang, tentu tidak sedikit peran yang digoreskan oleh kaum ibu yang menjadi Polwan ini. Enam perintis Polwan yang mulai mengikuti pendidikan di SPN (Sekolah Polisi Negara) di Bukittinggi pada 1 September 1948 itu, perlu kita telusuri, di mana mereka sekarang? Kalau melihat, usia mereka tahun 1948, masih remaja sekitar 16 tahun-an, tentu sekarang sudah berusia lanjut dan berpulang ke rahmatullah.

Diperoleh informasi ke enam Polwan perintis ini, mereka juga dinyatakan sebagai anggota Angkatan Bersenjata RI (ABRI) perempuan pertama di Indonesia. Kita tahu, sebelum reformasi, Polri berada di bawah Komando ABRI, yang Polri dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) berada di bawah Menteri Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Jadi, Polwan yang pertama ini, juga mendahului dari Kowad (Korps Wanita Angkatan Darat), Kowal (Korp Wanita Angkatan Laut) dan Kowara (Korps Wanita Angkatan Udara).

Ceritanya, tatkala pada Pemerintahan PDRI, Kota Bukittinggi harus dikosongkan pada awal 1949, karena pasukan Belanda semakin mendekat. Kesatuan Brigade Mobil (Brimob) pimpinan Inspektur Polisi Amir Machmud ditugaskan mendirikan basis pertahanan untuk melindungi proses pengosongan itu. Dalam pasukan ini, terdapat tiga orang polisi wanita, yaitu Rosmalina, Jasmaniar, dan Nelly Pauna.

Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara penuh, dengan peristiwa sejarah yang disebut “Penyerahan Kedaulatan”, ke enam Polwan dari Bukittinggi ini melanjutkan pendidikan ke SPN Sukabumi, Jawa Barat. Mereka lulus pada Mei 1951 sebagai inspektur polisi.
Enam Srikandi inilah yang menjadi pelopor lahirnya kesatuan Polwan di Indonesia. Mereka mengemban tugas yang tidak kalah penting dari polisi pada umumnya. Walaupun, jumlahnya masih jauh di bawah populasi polisi pria atau laki-laki.

Presiden Sukarno, dalam pidatonya yang dikutip dari buku Wanita Indonesia Selalu Ikut Bergerak dalam Barisan Revolusioner (1964), memuji polisi-polisi wanita dari Sukabumi itu. Bung Karno menyebut ke enam Gadis Minang yang menjadi polisi itu bagaikan bunga. Bunga melati pagar bangsa.

Para Polwan perintis ini, mengakhiri karirnya di Polri, dengan pangkat terakhir Komisaris Besar Polisi (Kombespol) yang waktu mereka pensiun di bawah naungan ABRI, sebutan pangkatnya adalah “kolonel polisi”. Nelly Pauna dikenal sebagai Kolonel Polisi Nelly Pauna Situmorang, Mariana (Kolonel Polisi Mariana Saanin Mufti), Djasmaniar (Kolonel Polisi Djasmaniar Husein), Rosmalina (Kolonel Polisi Rosmalina Pramono), Rosnalia (Kolonel Polisi Rosnalia Taher) dan Dahniar (Letnan Kolonel Dahniar Sukotjo)..

Setelah era Orde Lama berakhir dan digantikan rezim Orde Baru dengan Soeharto selaku presiden, proses pendidikan untuk calon polisi wanita masih berlanjut, tetapi yang berminat tidak terlalu banyak. Selain itu, belum ada institusi pendidikan khusus yang menaunginya. Kaderisasi Polwan juga tersendat setelah Polri melebur dengan TNI menjadi ABRI. Apalagi penerimaan taruni (taruna perempuan) di Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata RI) dihapuskan. Akibatnya, Polri tidak memiliki lulusan Polwan dari Akademi Kepolisian.

Untunglah, tahun 1975, Sekolah Anggota Kepolisian RI di Ciputat, Jakarta, yang bernaung di bawah Polda Metro Jaya, membuka kelas khusus untuk mendidik bintara polwan. Tahun 1982, kelas ini diperluas menjadi Pusat Pendidikan Polisi Wanita (Pusdikpolwan). Berikutnya, pada 30 Oktober 1984, status Pusdikpolwan diganti menjadi Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan) yang dinaungi Direktorat Pendidikan Polri.

Berdirinya Sepolwan, secara bertahap menarik minat perempuan untuk menjadi polisi, kendati secara presentase masih sangat kecil di sepanjang dekade 1980-an. Hingga era 1990-an, ada peningkatan jumlah personil Polwan di tubuh Polri. Dari tahun ke tahun minat menjadi Polwan di kalangan gadis remaja semakin menuingkat. Apalagi, sejak mereka diberi peran tampil sebagai staf Binmas (Pembinaan Masyarakat), Humas (Hubungan Masyarakat), Polantas (Polisi Lalu Lintas), Badan Narkotika Nasional (BNN) dari pusat sampai ke daerah, serta satuan-satuan yang mengurusi Wanita dan Anak, serta bidang lainnya. Sekarang posisi Polwan sudah sejajar dengan Polisi laki-laki.

Sekarang, tercatat sudah ada sebelas orang Polwan yang menjadi Pati (Perwira Tinggi). Sepuluh orang mencapat pangkat Brigjenpol (Brigadir Jenderal Polisi) dan satu orang mencapai bintang dua, Irjenpol (Inspektur Jenderal Polisi). Ada yang masih aktif, dan sebagian sudah pensiun atau purnawirawan. Mereka itu adalah: Irjenpol (Purn) Basaria Panjaitan, SH,MH, Brigjenpol (Purn) Jeanne Mandagi, SH, Brigjenpol Dra.Roekmini Koesoema Astoeti, Brigjenpol (Purn) Paula Maria Renyaan Bataona, Brigjenpol Dra.Sri Kusmaryati, BrigjenpolDra Noldy Rata, Brigjenpol Hj.Rumiah Kartoredjo,SPd. Brigjenpol Soepartiwi, MPd., Brigjenpol Dra.Ida Utari, Brigjenpol Dra.Hj. NurAfiah, MH., Brigjenpol Dra.Sri Handayani

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *