Larangan Mudik dan Peninjauannya dari Segi Sosiologi

  • Whatsapp

SURABAYA,
Larangan mudik oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bahwa seluruh moda transportasi dilarang beroperasi selama masa mudik Idul Fitri tahun 2021. Hal itu juga dipertegas dengan dikeluarkannya Addendum Surat Edaran Satgas Covid-19 No.13 Tahun 2021.

Sosiolog Universitas Airlangga (UNAIR) Prof. Dr. Bagong Suyatno, Drs., M.Si. menilai bahwa larangan mudik tersebut membatalkan reward sosial yang diinginkan seseorang untuk bertemu dan melepas kangen bersama keluarga. Di mana saat situasi normal masyarakat mampu merasakan reward itu secara langsung.

“Dalam situasi normal, orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung,” ungkap Dr. Bagong.

Mudik sendiri dilarang oleh Pemerintah karena dinilai mampu berpotensi membuka kembali gelombang II dan III perluasan virus Covid-19. Tentu hal tersebut mendatangkan lebih banyak masalah daripada manfaat.

Dr. Bagong sendiri menyebut larangan itu sudah menjadi keharusan. Mengingat, Indonesia sudah belajar dari pengalaman banyak negara terkait penyebaran Covid-19.
Sehingga, yang perlu menjadi pemecah masalah terkait diskusi larangan mudik saat ini bukan perihal membatalkan atau blusukan mencari celah agar bisa mudik. Namun, bagaimana mencari alternatif atau bentuk lain dari mudik yang bisa dilakukan masyarakat sebagai pengganti ritual mudik tanpa bertemu secara langsung.

“Sebagai pengganti mudik, masyarakat bisa menyiasatinya dengan mudik melalui teknologi, seperti keliling di grup-grup Whatsapp, telepon, atau bahkan video call,” tegas Dr. Bagong.

Mudik sendiri merupakan sebuah tradisi setahun sekali yang telah mengakar di Indonesia. Dengan diberlakukannya larangan mudik oleh Kemenhub, menurut Dr. Bagong, pelanggar aturan tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum, tapi lebih dipahami sebagai resistensi.

“Pelanggar aturan mudik sendiri menurut saya beda tipis antara bentuk resistensi dan pelanggar hukum. Sebetulnya, saya lebih setuju bahwa itu dipahami sebagai bentuk resistensi masyarakat. Bukan dinilai sebagai pelanggar hukum, lalu disanksi,” ungkapnya.

“Mudik akan membunuh orang tuamu, slogan dari kampanye pak Doni itu betul. Sekarang, tinggal masing-masing dari pribadi masyarakat Indonesia saja apa mereka ingin membahayakan atau tidak, toh mereka sudah tahu resikonya (Covid 19, Red),” pungkas Prof Bagong. (Yul)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait