Pemerintah Ubah UN, Komite III DPD RI RDPU Untuk Cari Masukan PGRI dan BSNP

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Komite III DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di Ruang Rapat Komite III DPD RI hari Senin (20/1).

RDP membahas rencana Pemerintah menghapus Ujian Nasional (UN). Dari RDP itu bisa untuk diketahui pandangan dan pendapat berbagai pihak buat bahan Rapat Kerja (Raker) dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ini disebabkan keberadaan UN menimbulkan ketakutan buat siswa dan orang tua murid.

Ketua Komite III DPD RI, Bambang Sutrisno mengatakan, keberadaan UN saat ini masih menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya karena UN menghilangkan tujuan utama dari pendidikan.

Sebagian masyarakat tidak menyetujui UN dijadikan tolak ukur kelulusan siswa karena dinilai kurang tepat sebav mengabaikan masa pendidikan sebelum mengikuti UN.

“Sejak pelaksanaan UN 2003, hingga saat ini masih menimbulkan pro dan kontra. UN mendorong siswa belajar bukan karena kecintaan kepada ilmu tetapi motivasi nilai atau angka tinggi UN,” ujar Bambang.

Di tengah pro dan kontra itu, Mendikbud mengatakan, akan mengubah UN dengan model berbasis pada literasi dan karakter. Asesmen didasarkan kepada kompetensi dan survei karakter. Karena itu. menurut Bambang,

Anggota BSNP, Bambang Suryadi mengatakan, pihaknya tidak dalam sikap menolak atau menyetujui penghapusan UN. Dari sisi teknis, tugas dan fungsi BSNP mengkaji arahan Mendikbud terkait Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang tengah disiapkan sebagai pengganti UN.

Sembari mengkaji kebijakan itu, BSNP tetap mempersiapkan pelaksanaan UN 2020 yang masih berlangsung di tahun depan. Sepanjang PP 19/2015 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang mengatur pelaksanaan UN tak ada perubahan, dengan sendirinya UN tetap dilaksanakan.
“Merujuk UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, Indonesia menganut sistem berbasis standar. Langkah ini, salah satu upaya untuk memastikan dan menjamin tersedianya layanan pendidikan yang bermutu bagi warga. Untuk itu, pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan, sebagai kriteria minimal yang menjadi parameter. Untuk menilai keberhasilan standar nasional dilakukan evaluasi, salah satunya UN dan USBN,” kata dia.

Menurut Ketua PGRI, Supardi, norma UN tak ada di UU Sisdiknas. Dasar hukum penyelenggaraan UN ada pada PP 19/2005. Atas dasar itu secara norma pelaksanaan UN sebenarnya melanggar hukum karena norma UN yang ada pada PP 19/2005 tidak ada cantolannya di UU Sisdiknas.

Jika UN dimasukan dalam kategori evaluasi pendidikan, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 21 UU Sisdiknas, UN dimaksudkan sebagai kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan.

Jika merujuk Pasal 58 ayat (2) UU Sisdiknas berkenaan dengan evaluasi pendidikan, apakah BSNP dapat dikategorikan sebagai lembaga mandiri? Jika UN dikategorikan sebagai evaluasi hasil belajar peserta didik semakin tidak tepat karena evaluasi itu menjadi kewenangan pendidik.

Senator asal DI Yogyakarta, Hilmy Muhammad mengkritisi pelaksanaan UN yang menurutn dia belum dapat dijadikan ukuran standard minimal kualitas manusia Indonesia. Penyelenggaraan UN seharusnya juga diarahkan pada peningkatan indeks kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Senator asal DKI Jakarta, Sylviana Murni menganggap, UN harusnya tidak digunakan sebagai tolak ukur kelulusan siswa, tetapi untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia melalui UN.

“Dari pemetaan itu diketahui daerah mana yang mutu pendidikannya belum memenuhi standar sehingga diperlukan intervensi dari pemerintah agar dapat memenuhi standard tersebut. Persoalannya adalah intervensi yang dilakukan oleh negara sering tidak tepat dan tidak sesuai.”

Senator Kalimantan Utara, Fernando Sinaga, Erlinawati (Kalbar), Hilda Manafe (NTT) mengkritisi pelaksanaan UN karena sarana dan prasarana setiap daerah di Indonesia tidak sama.

Di Kaltara misalnya, akses internet minim, komputer menjadi barang mewah. Di Kalbar kualitas guru tidak sama dan menjadi keluhan. Atas dasar itu, standard pendidikan di pulau Jawa tidak dapat dipergunakan di NTT atau di daerah di luar Jawa.

Senator Provinsi Bali, Anak Agung Gde Agung mengkritisi dampak UN pada peserta didik secara psikologis. Hingga saat ini UN tetap dianggap sebagai momok yang menakutkan dan mencemaskan bagi peserta didik. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *