Sejarah dan Makna Filosofi Upacara Adat Jawa Tingkeban

  • Whatsapp

TEMANGGUNG, beritalima.com |Salah satu tradisi Jawa yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah Tingkeban juga sering disebut juga dengan Mitoni.

Tradisi tingkeban merupakan upacara adat Jawa  memperingati tujuh bulanan bayi dalam kandungan atau upacara tujuh bulanan kehamilan yang merupakan upacara terakhir sebelum proses kelahiran.

Bacaan Lainnya

Sedang hakikat dari tingkeban untuk mendoakan calon ibu dan bayi dalam kandungannya supaya selamat dan nantinya lahir dengan normal.

Upacara adat ini merupakan budaya peninggalan nenek moyang dan masih dilestarikan di desa Petarangan kecamatan Kledung kabupaten Temanggung hingga saat sekarang.

Salah satunya Agus yang menggelar upacara adat tingkeban pada Jumat (3/6/2022).

Penggiat seni gambar sketsa ini menerangkan asal usul dari tingkeban ada yang menyebut mitoni diambil dari kata pitu atau tujuh dimana upacara adat ini dilaksanakan ketika usia kandungan memasuki tujuh bulan.

“Tingkeban merupakan upacara adat dan tradisi lama yang diwariskan dari turun temurun,” ujarnya.

Dia menceritakan mengenai asal usul upacara adat ini, menurutnya upacara tingkeban ini sudah dikenal sejak masa Prabu Jayabaya dari kejayaan Kerajaan Kediri.

Ketika itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb yang menikah dengan seorang punggawa kerajaan Kediri bernama Sadiyo.

Dari pernikahan tersebut, lanjut Agus, Niken Sutingkeb sudah melahirkan sebanyak sembilan kali tetapi tidak ada yang selamat yang membuat pasangan tersebut bersedih sampai akhirnya mereka mendatangi Prabu Jayabaya dan meminta saran.

“Sang Prabu memberikan 3 anjuran yang harus dilakukan untuk Niken Sutingkeb dan Sadiyo,” ungkap Agus.

Pertama mereka diminta mandi setiap hari Rabu (tumbah), kedua dilanjutkan mandi hari Sabtu (budha), dan ketiga mandi suci dengan menggunakan air suci dan gayung dari batok kelapa.

Pada saat mandi suci, Niken Satingkeb diminta untuk memanjatkan doa harapan agar jika hamil lagi diberi kelancaran dan bayinya sehat.

“Sejak saat itu, apa yang dilakukan Niken Satingkeb menjadi tradisi yang dilakukan wanita disaat mengandung,” imbuhnya.

Dikatakan bahwa acara tingkeban tidak bisa dilakukan sembarangan waktu harus dicarikan hari baik menurut perhitungan jawa.

Adapun rangkaian tingkeban dimulai dengan siraman atau mandi, yang merupakan simbol penyucian jiwa dan raga.

Setelah selesai dilanjutkan memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain sarung calon ibu, yang dilakukan oleh suaminya.

Acara berikutnya adalah rangkaian upacara brojolan, yaitu memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Arjuna dan Sumbadra.

Kemudian, calon ibu akan mengganti busana dengan kain sebanyak tujuh motif yang berbeda-beda.

“Upacara  ini ditutup dengan minum jamu sorongan, yang melambangkan agar anak yang dikandung akan mudah saat dilahirkan,” terang Agus.

Sementara tujuan diadakan tingkeban adalah mendoakan bayi yang didalam kandungan agar selalu diberi kesehatan, masyarakat Jawa juga meyakini tingkeban harus dilaksanakan agar ibu dan anak dalam kandungan terhindar dari malapetaka.

“Upacara tingkeban juga mengandung makna solidaritas primordial yang berkaitan dengan adat-istiadat yang sudah turun-temurun,” tegasnya.

Menurutnya, bagi masyarakat Jawa bila mengabaikan adat akan menimbulkan celaan dan nama buruk bagi keluarga.

“Meninggalkan tingkeban tidak hanya melanggar etik status sosial, namun juga tidak menghormati tatanan para leluhur,” yakinnya. (Gus Slamet)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait