Dari NJOP PBB 700 Jutaan Ditaksir Bapenda Banyuwangi 3 Miliar, Warga Pun Tercekik

  • Whatsapp

BANYUWANGI, beritalima.com – Aturan penaksiran harga tanah dan bangunan yang diterapkan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Banyuwangi, Jawa Timur, memang terkesan membabi buta. Penaksiran harga yang melambung jauh dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dinilai cukup mencekik dan memberatkan.

Padahal, penaksiran harga tersebut adalah acuan besaran pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang merupakan salah satu syarat pengurusan sertifikat. Tak pelak, saat Presiden Joko Widodo gencar mendorong kemudahan dan percepatan pengurusan sertifikat tanah, warga Bumi Blambangan, justru banyak mengurungkan niat melakukan pengurusan. Alasannya, masyarakat khususnya wong cilik, tidak mampu membayar pajak BPHTB.

Penelusuran TIMES Indonesia dilapangan, salah satu pajak BPHTB gendut, sebagai imbas penaksiran harga petugas Bapenda Banyuwangi, terjadi pada tanah dan bangunan milik BER, warga Kecamatan Genteng. Dari tanah seluas 810 meter persegi dengan nilai NJOP Rp 802.000, didapati harga Rp 649.620.000.

Sedang untuk bangunan seluas 160 meter persegi dengan nilai NJOP Rp 95.000, harga sebesar Rp 95.200.000. Total NJOP PBB milik BER, Rp 744.820.000. Namun oleh Bapenda Banyuwangi, ditaksir dengan harga Rp 3 miliar bulat. Imbasnya, pajak BPHTB yang harus dibayar membengkak menjadi Rp 147,000.000. Karena dipatok dengan pajak yang fantastis, tak pelak proses pengurusan sertifikat pun dibatalkan.

“Ya terpaksa pengurusan sertifikat dibatalkan dulu, nunggu punya uang, soalnya akibat ada taksir harga, pajak jadi melambung,” ungkap YN, keluarga BER, Senin (28/8/2017).

Kejadian serupa juga menimpa proses pengurusan sertifikat yang dilakukan SR, warga Banyuwangi Kota. Tanah miliknya, seluas 200 meter persegi, dengan nilai NJOP Rp 82.000, muncul total NJOP PBB Rp 16.400.000. Tapi oleh petugas Bapenda Banyuwangi, harga ditaksir hampir lima kali lipat menjadi Rp 80.000.000. Pajak BPHTB yang harus dibayar pun meroket menjadi Rp 1000.000.

Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Bapenda Banyuwangi, Nafiul Huda S Sos Msi, mengatakan bahwa kebijakan taksir harga yang berlipat ganda tersebut dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Dasar peraturan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan terakhir dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Perda (Peraturan Daerah) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pajak BPHTB dan Perbup (Peraturan Bupati) Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda Nomor 8 Tahun 2010,” katanya, Kamis lalu (24/8/2017).

Meski demikian, ketika dikonfirmasi tentang acuan penaksiran harga tanah dan bangunan, yang melambung hingga berkali-kali lipat lebih dari harga sebenarnya, dia enggan menjawab. Menurutnya, untuk masalah teknis pelaksanaan, walau pihaknya adalah pejabat publik, prosedur kebijakan bisa dirahasiakan dari masyarakat.

“Karena ada batasan kententuan bagi pejabat dalam menjalankan peraturan perpajakan, sesuai Pasal 29 dan 33, Perda Nomor 8 Tahun 2010,” ungkapnya.

Informasi dilapangan, dalam pengurusan pajak BPHTB, Wajib Pajak (WP) bisa memproses via online melalui notaris maupun kecamatan. Selanjutnya menunggu Bapenda Banyuwangi membalas dengan harga penaksiran. Fatalnya, penetapan harga penaksiran tersebut diduga tanpa dibarengi peninjauan lapang. Padahal, harga tanah dan bangunan ditiap daerah berbeda-beda. (Abi)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *