Hijrah Itu Merantau

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam Hari ini 1 Muharam 1442 Hijrah. Bertepatan dengan 20 Agustus 2020. Pada tanggal 10 Muharam, ada kisah di zaman Rasulullah yang disebut Hari Asyura. Masyarakat Suku Jawa, menyesuaikan penanggalan dengan Tahun Saka. Sehingga, awal tahun hijrah itu diidentikkan dengan awal bulan atau tahun “Syura” — dibaca “Syuro” atau Suro.


Dalam sejarah Islam tanggal 1 Muharam  tahun 622 Masehi, ditetapkan sebagai Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam. Dijadikan awal perhitungan Kalender Hijrah atau Hijriah.
Penetapan yang disepakati zaman Kekhalifahan Umar bin Khatab itu, untuk mengenang peristiwa hijrahnya  Nabi  Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam (SAW). dari Kota Makkah ke Madinah.


Penanggalan Hijriah dicetuskan oleh Ali bin Abi Thalib pada tahun 638 Masehi atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah. Kota Yasrib, tempat tinggal Nabi Muhammad akhirnya berubah menjadi Madinah.
Nah, apa itu “hijrah”. Artinya “pindah”.Konon di tahun 622 Masehi itu, ada skenario pembunuhan terhadap Nabi Muhammad oleh tokoh kaum Qurais. Secara diam-diam Nabi Muhammad bersama Abu Bakar pergi meninggalkan kota Mekkah.


Sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad dan pengikutnya pindah atau berhijrah ke Yasrib 320 kilometer (200 mi) utara Mekkah. Yasrib kemudian berubah nama menjadi Madinat an-Nabi, yang berarti “kota Nabi” Namun kata an-Nabi menghilang, dan hanya disebut Madinah.
Lalu, ada juga yang mengaitkan dengan Asyura yang oleh orang Jawa disebut Syura dibaca Syuro. Asyura dalam bahasa Arab, artinya ke sepuluh atau hari ke-10 pada bulan  Muharram  pada Kalender Hijriyah. 
Hari Asyura ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi’ah dan sebagian Sufi. Mereka menjadikan Asyura sebagai hari berkabung atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi I Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680 M).


Plesetan Nama Bulan
Tahun Suro dalam kalender Jawa-Islam  dicetuskan oleh Sultan Agung, Raja Mataram Islam. Tetapi, Sultan Agung tidak serta merta menggunakan penanggalan Hijriah. Ia memadukannya dengan sistem kalender tarikh Saka yang saat itu masih digunakan. 
Sistem kalender Jawa tersebut dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi), dan Hindu (Saka). Atas pertimbangan pragmatis, politik dan sosial, penanggalan Jawa memiliki dua sistem perhitungan yaitu mingguan (7 harian) dan pasaran (5 harian). 
Sistem mingguan yaitu:  Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Sedangkan sstem pasaran (5 harian) adalah: Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing.


Kalau dalam kalender Hijriah, nama-nama bulannya adalah: Muharram, Syafar, Rabiul awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir,  Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Zulkaidah dan Dzulhijjah. Namun dalam penanggalan Syuro diubah menjadi: Suro,, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela dan Besar.
Jadi tahun Syuro ada plesetan nama bulan.  Bulan Muharram menjadi Syuro, karena ada peristiwa Asyura (peristiwa besar di hari ke sepuluh).  Syafar menjadi Sapar, karena dialeg Jawa huruf F dibaca P.  Berikutnya Rabiul Awal diganti Mulud, karena pada bulan ini ada hari Maulud Nabi tanggal 12 atau kelahiran Nabi Muhammad yang disebut Maulud, diubah menjadi Mulud. 


Lanjutan bulan berikutnya Rabiul Akhir disebut Bakda Mulud. Bakda atau Ba’da (sesudah) Maulud. Jumadil Awal dan Jumadil Akhir tetap. Tetapi, lidah Jawa sulit membaca huruf KH, sehingga Akhir menjadi Akir. Rajab menjadi Rejeb. Sya’ban menjadi Ruwah. Ramadhan disebut Pasa, plesetan dari Puasa. Karena bulan Ramadhan adalah bulan puasa. Syawal menjadi Sawal. 
Kemudian bulan Dzulkaidah disebut Sela. Artinya bulan yang menyela (Sela) di antara dua Bulan Ied (Hari Raya), Idulfitri di bulan Syawal dan Iedul Adha di bulan Haji (Dzulhijjah). Terakhir bulan Dzulhijjah atau bulan Haji dinamai bulan Besar.


Hijrah dan Merantau
Berbagai makna dan terjemahan dari hijrah. Mulai dari kata: pindah, berpindah, migrasi, transmigrasi dan merantau. Semuanya bisa digunahan. Karena hijrah itu adalah pindah atau berpindah.
Awalnya, kata hijrah popular dengan kepindahan Nabi Muhammad bersama pengikutnya dari Mekah ke Yasrib atau Madinah, karena faktor keamanan.


Perpindahan domisili, ditafsirkan pula bukan hanya faktor keamanan. Bisa juga masalah ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Jadi ada keinginan pindah atas kemauan sendiri, juga akibat keadaan, maupun ketentuan pemerintah. Ada juga pendapat menyebut, pindah itu tidak harus fisik. Bisa saja sifat, sikap atau perasaan yang positif. Misalnya perpindahan sikap dari yang buruk ke yang baik, 


Nah, kembali ke makna hijrah. Bisa karena budaya. Seperti masyarakat tempo dulu. Berpindah-pindah, karena daerah yang ditempati semakin kekurangan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk  kehidupan.


Ada juga melaksanakan profesi sebagai pedagang. Seperti para pedagang zaman dulu. Mereka meninggalkan tanahairnya. Meninggalkan daerah asal. Kemudian berkembang mencari ilmu di tempat lain, karena di daerahnya belum terdapat lembaga pendidikan yang lebih tinggi. .
Terjadilah perpindahan domisili dengan membuka tempat usaha jauh dari daerah asal. Mencari kembaga pendidikan tang lebih tinggi. Menjadi pendakwah atau penyebar agama, serta profesi lainnya. Kebiasaan atau budaya seperti ini dikenal dengan merantau.


Sebaliknya, ada pula perpindahan bukan kehendak sendiri, tetapi karena program pemerintah untuk pemerataan penduduk. Pindah dari daerah padat penduduk ke daerah yang lengang. Seperti transmigrasi. Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa. Bahkan, di zaman Belanda ada kolomisasi massa dari Jawa sampai ke Suriname. 
Masyarakat Indonesia, sudah lama membudayakan pindah-pindah ini. Suku Minangkabau, Batak, Bugis dan Madura sudah tidak asing dengan tradisi merantau. Sedangkan masyarakat di Pulau Jawa sudah lama menjadi obyek transmigrasi.
Memang, antara merantau dengan transmigrasi, ada persamaan, yaitu pindah tempat tinggal. Namun ada perbedaan, merantau lebih banyak atas dorongan pribadi dan keluarga. Sedangkan transmigrasi, menjadi program pemerintah.
Masyarakat Minangkabau, sudah menjadikan merantau sebagai budaya. Seorang anak muda  terpaksa merantau karena seolah-olah merantau merupakan keharusan. Orang yang tidak merantau dianggap bagaikan “katak di bawah tempurung”. Dia tidak mengenal dunia lain. Ada vonis tidak resmi, bagi yang belum pernah merantau, dianggap ilmunya masih kurang dan terbatas.
Lain lagi dengan budaya Jawa yang menyebut:  “makan tidak makan pokoknya berkumpul”. Namun tradisi ini tidak berlaku lagi, sudah dilindas zaman. Artinya, selain dipindahkan dengan program transmigrasi, perantau asal Jawa ada di mana-mana. Bahkan karena kebiasaan berkumpul itu,  hampir di kota-kota lama ada kampung Jawa.
Jadi, karena hijrah itu dianggap sama dengan perpindahan domisili dari yang kurang aman ke tempat aman atau dari daerah yang miskin ke tempat yang layak, serta dari tempat yang lembaga pendidikannya tidak lengkap menuju ke tempat yang menyediakan lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Nah, dengan merantau itu, seseorang dapat berbakti untuk kampung halamannya atau asalnya. Maka dapat disimpulkan,  bahwa “hijrah itu adalah  merantau”. (**)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait