Kasek Diseleksi Agar Bisa Menggerakkan Warganya dan Menerapkan Kurikulum Merdeka

  • Whatsapp

Jombang | beritalima.com – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memiliki Program Pendidikan Guru Penggerak (PGP) dan Program Sekolah penggerak (PSP). KSP dimulai dari Kepala Sekolah yang diseleksi. Setelah lulus seleksi, sekolah ditetapkan menjadi sekolah penggerak. Alasan kepala sekolah yang diseleksi diharapkan bisa menggerakkan warganya untuk menerapkan kurikulum merdeka di sekolah penggerak agar bisa menghargai perbedaan potensi anak.

“Nanti kalau sudah ditetapkan menjadi sekolah penggerak, semuanya akan dilatih perwakilan dari guru mapel guru BK, lalu kepala sekolah dan pengawas yang tujuannya supaya guru – guru merdeka dengan baik dan benar serta difasilitasi baik buku atau lainnya,” terang Dra. Susiana, M.Si selaku Pelatih Ahli dan Pengawas pada Program Sekolah Penggerak, berhasil dimintai keterangannya di ruang kerjanya, pada Jum’at (25/2/2022).

Fasilitator kata Susiana, ada dua fasilitator program yaitu fasilitator Program Sekolah Penggerak (PSP) untuk melatih guru dan fasilitator Program Guru Penggerak (PGP), yang endingnya bila menjadi Kepala Sekolah (Kasek) harus punya sertifikat dan lulus pendidikan guru penggerak.

Ditegaskan Pelatih Ahli dan Pengawas, perbedaan PSP dengan PGP, bahwa PGP adalah progam peningkatan kompetensi di bidang kepemimpinan bagi guru – guru yang terpilih melalui proses seleksi. Sedangkan PSP adalah program peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dengan intervensi menyeluruh baik Kasek, pengawas sekolah dan guru.

Lanjutnya, pemilihan sekolah penggerak dilakukan melalui seleksi Kepala Sekolah dan ditetapkan bersama antara Kemendikbud dan Pemerintah Daerah. “Itu lebih lama, kalau sekolah penggerak perwakilan guru. Kalau ini gurunya yang dilatih selama sembilan bulan, enam bulan daring sisanya lokakarya. Disitulah saya membimbing mereka lebih mendalam pada personnya,” jelas Susiana.

Masih lanjut Susiana, manfaat PGP untuk menambah ilmu dan keterampilan sedangkan PSP agar bisa membuat kurikulum yang bisa menghargai perbedaan potensi peserta didik walaupun sudah ada tapi sekarang ini dikuatkan dan menonjolkan perbedaan potensi anak anak.

“Misalnya mau naik kelas harus memenuhi KKN sekian tapi sekarang kita hargai perbedaan potensi anak anak. Jadi sebelum mengajar harus melakukan asesment lebih dulu, kesiapan belajarnya gimana. Maka dari itu peran guru kurikulum ini harus mewadahi semua perbedaan potensi anak jadi tidak disamaratakan,” tandasnya.

Diterangkan Susiana, tahun ajaran baru sudah menerapkan kurikulum merdeka, perbedaan yang sangat mendasar di kurikulum merdeka ini ada projek penguatan profil pengajaran. Inilah yang menurutnya membedakan kurikulum yang lama.

“Contoh PKM 3 jam, 30% dari 3 jam tersebut kasarannya 1 jam pelajaran (JP). Maka yang 2 JP itu sama seperti intrakulikuler yang kemaren memberi materi namun yang 1 JP ini berupa projek dengan memberi tugas secara lintas mapel untuk penguatan profil pelajaran yang enam dimensi itu.

“Enam dimensi itu terdiri dari beriman kepada Tuhan YME, mandiri, bernalar kritis, berkebhinekaan global, bergotong royong, dan kreatif,” ujarnya.

Dari enam dimensi itu dijelaskan Susiana, sudah ditentukan 7 tema projek penguatan. Jadi menurutnya tidak sekedar memasukan ilmu saja akan tetapi anak itu mampu untuk menerapkan ilmu dengan aksi nyata yang dihubungkan dengan kontekstualnya.

“Hal yang baru pasti punya gagasan belajar yang lebih baik maka kita sebagai pelaksana pendidikan tentu saja ikut berpartisipasi kesana. Walaupun belum melakukan action PGP dan PSP, yang terpenting menjadi lebih baik,” harap Susiana.

Reporter : Dedy Mulyadi

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait