Mulyanto: Rencana Stop Impor Migas Bukan Hanya Wacana Jokowi

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Salah satu hasil Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Jakarta, Selasa (20/4) memutuskan untuk menyetop impor Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquified Petroleum Gas (LPG) 2030.

Menanggapi hasil Sidang Paripurna DEN itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto mengatakan, keputusan tersebut sangat tepat meski bukan hal baru, mengingat tekanan defisit transaksi berjalan dari impor minyak dan gas (migas), khususnya BBM serta LPG sangat kuat.

Sebab itu, wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut berharap niat ini dapat dijalankan sungguh-sungguh dan bukan sekedar pepesan kosong. Pemerintah harus berani menghadapi mafia migas yang selama ini mencari untung dari impor migas tersebut.

Tanpa kesungguhan dan komitmen kuat, kata Mulyanto, mustahil niat ini akan terwujud. Apalagi Pemerintahan Jokowi akan berakhir pada 2024.
“Ada empat PR besar Pemerintahan Jokowi untuk mencapai swasembada migas tersebut yakni meningkatkan lifting migas, membangun kilang baru, konversi BBM dan LPG serta tingkatkan penghematan migas. Empat upaya ini terlihat masih berjalan bisnis as usual, alias jalan di tempat. Belum ada hasil yang mengejutkan,” ujar Mulyanto di Jakarta, Kamis (22/4).

Soal target lifting minyak misalnya. Mulyanto melihat target yang ditetapkan bukannya naik malah terus anjlok. Sementara realisasi lifting tahunan sering kali tidak tercapai, termasuk di masa sebelum pandemi Covid-19. “Target lifting 1 juta barel minyak per hari (bph) di 2030 terkesan sekedar wacana, karena investasi di sektor ini tidak beranjak naik.”

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) 2020, realisasi investasi hulu migas hanya mencapai US$10,21 miliar dari target sepanjang tahun US$12,10 miliar. Pola yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2018-2020), tren Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari migas terus turun, bahkan 2020 untuk minyak bumi turun 51,7 persen dan gas bumi turun 65,6 persen.

“Terkait masalah kilang baru. Kilang Bontang tidak jelas juntrungannya. Pembangunan kilang baru di Tuban, Provinsi Jawa Timur masih pada tahap pembebasan lahan. Padahal dimulai sejak 2017. Target operasi kilang ini pada 2025 dengan kapasitas produksi 300.000 bph,” jelas Mulyanto.

Soal konversi BBM dan LPG, dia menilai hasilnya belum sesuai harapan. Program introduksi mobil listrik, gasifikasi batubara untuk menghasilkan Distance Measuring Equipment (DME), pengembangan jaringan gas (jargas) dan kompor listrik, termasuk konversi PLTD menjadi PLTG belum sesuai dengan target-target yang direncanakan.

Yang terjadi justru manajemen lapangan atau kilang yang buruk. Belum lama berselang terjadi pencurian solar besar-besaran di lapangan Tuban. Seminggu kemudian, terjadi kebakaran hebat yang ketiga kalinya di Kilang Pertamina Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, yang meludeskan tiga dari 72 tangki dengan total kapasitas 1,35 juta kiloliter.

Dua minggu kemudian, bocor pipa minyak dekat perairan Karawang di sekitar area BZZA, sumur minyak yang dioperasikan PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ). Bukan hanya minyak yang terbuang percuma, juga terjadi kerusakan lingkungan laut yang meluas.

“Kalau begini cara kerja manajemen migas kita, untuk bertahan saja sulit, apalagi mau bebas impor BBM dan LPG. Pemerintah harus serius, tidak cukup dengan sekedar tebar wacana,” demikian Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait