Pemeriksaan Setempat Dalam Sengketa Hak Asuh Anak, Perlukah?

  • Whatsapp

Oleh: Dr Ahmad Zaenal Fanani, S.H.I,MSi***

Hari Senin, menjadi hari yang mungkin tidak disukai oleh kebanyakan orang. I Hate Monday, kalimat yang sering kita dengar diucapkan oleh sebagian karyawan kantoran.

Tetapi, itu kayaknya tidak berlaku di PA Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Karena hari Senin adalah hari yang dimulai dengan penuh semangat. Penuh semangat mengikuti bincang hukum. Suasana diskusi dan adu argument dalam bincang hukum berlangsung seru, hangat dan gayeng.

Bincang hukum Senin (26/10/2020), membahas tentang Pemeriksaan Setempat (PS) dalam perkara sengketa hak asuh anak, perlu atau tidak? PS lazimnya adalah untuk obyek perkara barang tidak bergerak seperti tanah, sawah dan lain lain. Lalu bagaimana jika obyek perkara adalah anak?

Perdebatan pro-kontra pun muncul karena belum ada ketentuan yang jelas tentang PS dalam perkara sengketa hak asuh anak.

Untuk menjawab PS perlu atau tidak, diskusi dimulai dengan melihat ketentuan PS dan menjawab apa tujuan PS dalam sengketa hak asuh anak.

Secara normatif, ketentuan yang mengatur PS terdapat dalam pasal 153 HIR, 180 R.Bg dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat.

Menganalisis ketentuan normatif tersebut, tujuan PS dapat diklasifikasikan menjadi dua. Yaitu untuk klarifikasi atas kejelasan obyek gugatan dan juga untuk memperlancar eksekusi agar putusan nanti dapat dieksekusi (eksecutable).

Tujuan PS dalam perkara sengketa anak adalah untuk memastikan kondisi obyektif anak tumbuh kembang dengan baik atau tidak dengan melihat langsung di lapangan dan juga untuk memastikan kondisi lingkungan sekitar anak mendukung atau tidak untuk mewujudkan kepentingan terbaik anak.

Kondisi obyektif anak dan kondisi lingkungan anak dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam penentuan pemegang hak asuh anak dalam putusan.

Satu hal yang juga harus diperhatikan adalah pentingnya menggali rekam jejak orang tua anak. Menggali secara mendalam kualitas dan kapasitas orang tua (bapak dan ibu) dalam mengasuh anak baik aspek moralitas, aspek kesehatan dan aspek kesempatan agar diketahui mana diantara bapak atau ibu yang paling mampu menjamin terwujudnya kepentingan terbaik anak. Yaitu terlindunginya anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Jika ketentuan, tujuan dan parameter penentuan pemegang hak asuh anak sebagaimana terurai diatas, maka PS dalam perkara hak asuh anak disepakati perlu dan boleh tetapi tidak wajib.

Mengapa tidak wajib? Karena bersifat kasuistik tergantung pertimbangan hakim pemeriksa perkara apakah menggali rekam jejak ortu cukup dengan bukti tertulis dan saksi di persidangan, atau masih perlu ditambah dengan PS. Jika bukti tertulis dan saksi sudah cukup, maka PS tidak diperlukan.

Atas kesimpulan diatas, ada satu hakim yang mengangkat tangan memberi catatan bahwa PS dalam sengketa hak asuh anak lebih baik atas permintaan pihak untuk PS, bukan atas perintah hakim dan dibuatkan putusan sela yang didalamnya memuat tujuan dan alasan pentingnya PS dalam kasus tersebut.

Jika boleh PS, apakah PS dilaksanakan di tempat tinggal penggugat dan tergugat (bapak dan Ibu anak) kedua-duanya atau hanya di lokasi tempat dimana anak berada?

Pertanyaan ini belum sempat didiskusikan karena jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB, tepat saatnya sidang sehingga diskusi bincang hukum pun dihentikan.

*** Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, Jawa Timur.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait