Pemindahan Ibu kota Negara bukan kebutuhan mendesak

  • Whatsapp
Pengamat militer dan pertahanan Wibisono

Oleh : wibisono

Mega Proyek Ibu Kota Negara Baru (IKN) yang telah dimulai Presiden Joko Widodo sebenarnya belum ada kebutuhan yang mendesak, harus ada alasan yang kuat untuk pemindahan ibu kota baru. Apalagi kalau kita bicara terkait kajian strategis nasional, dari aspek geologi, demografi,dan sejarah, apa kita terlanjur menandatangani proyek OBOR dengan China?, Sehingga kita terjebak dengan komitmen ini?

Pembangunan Mega proyek di Kalimantan ini akan merusak Ekosistem, Merujuk data yang dikeluarkan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari JATAM, JATAM KALTIM, WALHI, WALHI KALTIM, Trend Asia, Pokja 30, Pokja Pesisir, dan Forest Watch Indonesia dan tertuang dalam laporan ‘Ibu Kota Baru Buat Siapa?’, terdapat 94 lubang bekas tambang batu bara yang tersebar di atas kawasan ibu kota.

Antara lain PT Singlurus Pratama sebanyak 22 lubang, PT Perdana Maju Utama sebanyak 16 lubang, CV Hardiyatul Isyal sebanyak 10 lubang, PT Palawan Investama sebanyak 9 lubang, dan CV Amindo Pratama sebanyak 8 lubang.

Lubang-lubang itu harus ditutup. Dan tanggung jawab perusahaan harus tetap dikejar. Itu sesuai PP 78/2010, UU 4/2009, dan UU 32/2009. Semuanya mengatakan lubang-lubang itu harus direklamasi dan dipulihkan.

Sejak dulu Kalimantan adalah penghasil kayu dan tambang terbesar Di Asia bahkan di dunia, disana tambang batu bara yang sudah berabab abad terbentuk dari fosil tumbuhan yang hidup subur di hutan Kalimantan. Artinya struktur tanahnya dikalimantan bukan untuk properti atau infrastruktur.

Lubang itu mengandung air berisi logam berat dan beracun. Yang terpapar ke alam sekitarnya.

Tidak hanya itu, mega proyek IKN akan berdampak juga masyarakat terutama Suku Balik (penduduk asli) yang mendiami wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara. Terdapat 150 keluarga yang menggantungkan hidupnya dari sumber makanan sekitarnya, mereka pasti tergusur.

masyarakat yang berpenghuni disana tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah dan mereka sudah tinggal jauh sebelum rencana ibu kota ini ada. Sekarang aja mereka sudah menjadi korban dari konsesi-konsesi hutan tanaman industri dan Hak Pengusahaan Hutan yang ada di sana sejak tahun 60-an. Sekarang mereka akan dirampas lagi oleh proyek ibu kota ini.
Oleh sebab itu, penulis mempertanyakan kajian ilmiah pemerintah atas mega proyek ibu kota ini. Selain itu, ia berharap pemerintah dengan anggaran Rp466 triliun baiknya diperuntukan untuk hal yang mendasar bagi kehidupan masyarakat.

Konsep pembangunan di Kalimantan pada jaman orde baru sudah benar, yaitu mempertahankan Kalimantan sebagai hutan tanaman keras yang dulu disebut dengan paru paru dunia. Lewat program transmigrasi dan reboisasi lah orde baru mendapatkan dana besar dari luar negeri.

Dari segi pertahanan, Kalimantan tidak strategis untuk tempat militer, karena pusat pertahanan yang ideal masih di pulau Jawa.

Keinginan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur masih menuai polemik. Pasalnya, masih menyimpan persoalan ekologis yang harus dibenahi.

Kendati pemerintah dalam satu kesempatan menyatakan salah satu alasan ibu kota negara dipindahkan ke Kalimantan karena pemerintah berencana mencanangkan Living with Nature (Konsep Forest City).

Konsep Forest City di antaranya adalah penerapan Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 50 persen dari total luas area yang meliputi taman rekreasi, taman hijau, kebun binatang, botanical garden, dan sport complex, yang terintegrasi dengan bentang alam yang ada seperti kawasan berbukit dan Daerah Aliran Sungai (DAS), serta struktur topografi. Saya tidak yakin konsep forest city akan di wujudkan disana,

Hutannya pasti hilang. Omong kosong itu forest city. Slogan saja. Pasti akan membangun di situ dan akan rusak. Konsep forest city berulang kali disebut tanpa membagikan rencana tersebut kepada tim ahli dan pegiat lingkungan. Maka belum jelas bagaimana rencana pemerintah untuk membangun hunian perkotaan tersebut tanpa mengganggu ekosistem setempat.

Yang sudah terjadi adalah proyek skala besar di Kalimantan, membuat hutan tempat hidup satwa terfragmentasi, termasuk menghilangkan koridor-koridor yang vital bagi satwa.

Mega proyek pemerintah itu, menurutnya, juga direncanakan berdiri di wilayah yang mana memiliki 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara di atas wilayah total kawasan ibu kota baru seluas 180.000 hektar yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta. Itu belum termasuk 7 proyek properti di Kota Balikpapan.

Hasil penelusuran menunjukkan ada 148 konsesi di antaranya adalah pertambangan batu bara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan satu di antaranya berstatus Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Izinnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dengan nama sebuah perusahaan seluas 24.760 hektar yang seluruh konsesinya masuk dalam cakupan ibu kota. Konsesi pertambangan saja sudah mencapai 203.720 hektar yang seluruhnya masuk dalam kawasan ibu kota baru.

Saat ini saja sudah ada daya rusak yang luar biasa dari pertambangan ini. Lubang tambang ini saja mencapai 94. Itu saja sudah menjadi beban sendiri. Yang dibutuhkan Kalimantan Timur itu sebenarnya pemulihan bukan ibu kota negara ini.

Proyek Ibu Kota Baru Darurat Air, ,lokasi ibu kota baru berada di antara hutan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto, Hutan Lindung Manggar, dan Hutan Lindung Sungai Wain bisa berakibat pada ketersediaan air bagi lima wilayah.

Peneliti Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga mengatakan, lima wilayah tersebut yakni Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, wilayah pesisir khususnya Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Loa Lulu, dan Kota Samarinda.

Kondisi normal saja, Kota Balikpapan seringkali krisis ketersediaan air bersih dan air minum. Walaupun dalam tata ruang wilayah telah ditetapkan 52 persen wilayah kota sebagai kawasan hutan lindung.

Tidak hanya krisis air, pemetaan lokasi IKN juga akan berdampak terhadap ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan. Sementara, menurutnya, warga sudah sejak lama membikin perlindungan mangrove sebagai respons atas masifnya konversi mangrove yang terjadi di pesisir Kota Balikpapan. Yang ketika itu diubah menjadi pelabuhan-pelabuhan industri hingga PLTU.

Masyarakat di Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan yang paling terdampak. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di pesisir merupakan nelayan tangkap ikan satu hari yang kemudian menumbuhkan gerakan pemantauan ekosistem mangrove untuk menghentikan kerusakan. Kesimpulan nya adalah sebaiknya pemindah ibu kota Negara (IKN) ditinjau ulang dan dikaji dulu secara mendalam, atau yang pindah bukan ibukotanya, tapi pusat pemerintahannya saja.

Alangkah bijaknya apabila sebagian pusat pemerintahan pindah ke Kalimantan, tapi Jakarta tetap menjadi ibukota negara karena faktor strategis dan sejarah sejak jaman Belanda.

Penulis: Pengamat militer dan pertahanan

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait