Tes Iq, Quo Vadis?

  • Whatsapp

( Sebuah Refleksi Untuk Menjadi ‘Guru Makrifat’ )

Beberapa waktu yang lalu, salah satu sekolah besar tingkat pertama di Banyuwangi menyelenggarakan tes IQ. Tes ini diselenggarakan berkenaan dengan program pembukaan kelas akselerasi yang telah beberapa tahun berjalan. Dengan tes ini dimaksudkan agar anak yang masuk ke kelas ‘khos’ ini benar-benar dapat terseleksi dengan benar dan fair serta yang lebih penting adalah objektif. Kali ini sekolah mensyaratkan hanya anak yang berhasil memperoleh skor minimal 130 saja yang berhak menempati kelas ‘jalur cepat’ ini. Dan, di luar dugaan ternyata diperoleh hasil sangat memukau. Di antara sekian ratus anak terjaring sekitar 28 anak yang memenuhi kreteria itu. Padahal, menurut teori anak dengan skor hasil tes IQ 120-130 saja sudah masuk kategori anak ber-IQ superior.

Yang lebih membagakan lagi bahwa di antara peserta seleksi ada 1 anak yang memperolah skor 149. Dalam disiplin ilmu psikologi klinis konvensional, anak demikian dapat dikategorikan sebagai anak jenius (genuine). Hal ini tentu membagakan sekolah. Sebab, dengan demikian sekolah mempunyai anak bibit sangat unggul.

Sekalipun demikian ternyata hasil tes tersebut menyisakan pertanyaan kecil. Apakah hasil ini mencerminkan keadaan anak yang sebenarya, terutama, jika dikaitkan dengan prestasi akademik riil yang dicapai selama ini?. Dari penelelitian beberapa guru ternyata tidak semua skor tinggi hasil tes ekuivalen dengan prestasi akademik anak.

Ternyata ada peserta tes dengan capaian skor tinggi pretasi akademiknya jeblok. Bahkan, sangat mengejutkan. Mengapa? Justru beberapa anak yang meperolah skor tinggi (di atas rata-rata ini) tercatat mempunyai prestasi konvensional harian masuk ketegori anak blo’on. Mengapa hal ini terjadi. Lalu mana yang benar?

Tes IQ (Intelligence Quotient ) selama ini memang terlanjur dipercaya untuk menetukan kecerdasan seseorang. Tes ini adalah serangkaian tes yang digunakan untuk menentukan kecerdasan umum dari seorang individu dalam kaitannya dengan populasi umum dan hasilnya disebut skor IQ. Hasil tes dinormalisasi untuk mengukur kecerdasan seseorang, kecerdasan rata-rata skor 100, dengan nomor di atas dan di bawah ini mengikuti kurva Gaussian. Telah dikatakan bahwa tes IQ hanya salah satu metoda sempurna untuk mengukur aspek-aspek tertentu dari kemampuan intelektual.

Beberapa pendapat mengatakan, bahwa tes IQ merupakan prediktor kuat hanya dalam bidang membaca dan menghitung . Pengujian tidak memberikan indikasi penting dari kemampuan Anda untuk berpikir, berpikir dan memecahkan masalah. Menurut pendapat ini, bahwa tidak ada karakteristik tunggal yang lebih penting untuk memprediksi perilaku seseorang secara akurat dari Intelligence Quotient, atau IQ skor. The Adult Wechsler Intelligence Scale terdiri dari enam subjek verbal dan lima subjek kinerja. Tes IQ adalah mencetak gol sehingga skor rata-rata adalah 100 dan distribusi memiliki bentuk fungsi Gaussian, dengan deviasi standar 15.Kecerdasan IQ Quotient dihitung sebagai IQ = (mental usia / umur kronologis) x 100. Tes IQ yang digunakan untuk mengukur kecerdasan relatif orang dalam populasi umum, sehingga skor diharapkan agar sesuai dengan Curve Bell dan harus ditafsirkan sesuai dengan deviasi, rata-rata, dan nilai yang Anda, secara pribadi, cenderung menerima.

Karena itu mereka dikalibrasi sedemikian rupa untuk menghasilkan distribusi normal. Skor rata-rata pada tes IQ adalah 100, dengan skor 85-115 dianggap sebagai kisaran rata-rata.Pengujian intelijen digunakan oleh Psikolog Klinis untuk mengukur kemampuan intelektual anak dalam domain yang spesifik. Anak-anak usia 3 tahun sampai 16 tahun 11 bulan sesuai untuk pengujian IQ. Tes ini dapat membantu menentukan jalur dominan pendidikan anak. Jika nilai anak di atas 5% untuk kelompok usia mereka itu masuk akal untuk mengharapkan mereka untuk tampil dalam 5% atas akademis. Hasil dari tes IQ peringkat seorang anak terhadap sampel yang sangat besar anak-anak pada usia yang sama.Ada banyak perdebatan tentang kemampuan skor IQ untuk memprediksi prospek seseorang untuk berhasil dalam hidup.
Dengan demikian tes IQ memang bukan satu-satunya penentu kecerdasan anak secara simultan. Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian terbaru.

Seperti yang dilansir dari CBS News, peneliti menemukan, bahwa tidak ada satu tes tunggal atau komponen tertentu yang bisa secara akurat menilai kecerdasan seseorang mengenai kemampuan mental dan kognitifnya. Peneliti bahkan menyebutkan setidaknya ada tiga komponen yang harus dipertimbangkan untuk mengukur kecerdasan seseorang, yaitu ingatan jangka pendek, cara berpikir, dan kemampuan verbal. Dengan realitas ini seorang pakar bernama Dr Adrian Owen, peneliti dari Brain and Mind Institute.menegaskan : “Tidak ada yang namanya pengukuran tunggal dari IQ atau kecerdasan”.

Yang mengejutkan dari penelitian tersebut adalah, bahwa orang yang rutin bermain video game ternyata memiliki memori jangka pendek dan penalaran yang baik dibanding kebanyakan orang.
Terlepas dari kontroversi mengenai eksistensi tes, tes IQ memang cara paling mudah ditempuh dalam menentukan IQ seseorang. Akan tetapi, dalam rangka mengisi kelas khos, tes IQ harus didukung oleh serangkaian tes lain. Dengaan mengacu kepada pendapat pakar tadi jelaslah bahwa tes IQ tidak digunakan sebagai jastifikasi hitam putih untuk menempatkan anak dikelas istimewa. Tes lain seperti tes bakat dan minat mungkin perlu juga dipertimbangkan. Bukankah kelas juga tidak semata membutuhkan anak cerdas tetapi juga anak yang mempunyai semangat tinggi untuk belajar. Yang terakhir ini kadang-kaadang justru mengalahkan anak IQ super dengan talenta mental yang kurang bagus. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak salah untuk membuat regulasi sistem selekasi yang salah. Sebab, korban kesalahan ‘urus anak didik’ ini sudah sering kita dengar. Anak yang punya potensi luar biasa karena salah menangani akhirnya jadi anak biasa-biasa. Bahkan terkadang mungkin sangat menjengkelkan guru karena ulahnya. Beberapa anak istimewa terkadang memang bisa terlihat sangat tidak istimewa dalam keseharian. Hal ini tentu juga bukan dimaksdkan anak-anak dengan IQ di bawah standar harus dimasukkan ke kelas super (baca: akselerasi). Kecermatan para guru untuk mengamati jati diri anak yang sebenarnya sangatkah penting. Dengan kata lain, dalam mengenali potensi anak, meminjam istilah tasawuf, guru harus benar-banar ‘makrifat’.
Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait