Gerakan Reformasi 98 tidak sepenuhnya gagal (Perspektif pelaku sejarah)

  • Whatsapp

Oleh : Firman Syah Ali

Hari ini 23 tahun yang lalu Presiden RI HM Soeharto mengumumkan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI. Pengumuman tersebut disambut gegap gempita para demonstran yang aktif melakukan aksi jalanan sejak awal tahun 1990-an. Hanya sedikit demostran yang sadar bahwa gerakan reformasi tidak hanya sesederhana melengserkan Presiden Soeharto. Banyak yang lupa bahwa berhentinya Presiden Soeharto bukanlah tujuan utama gerakan reformasi.

Tujuan utama gerakan reformasi adalah memperbaiki tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang selama orde baru tertindas di bawah tirani praetorian.

Penyakit masyarakat Indonesia kala itu sangat kompleks dan meliputi segala aspek, namun yang sangat menonjol adalah :
1. Pemerintahan Otoriter;
2. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang disingkat KKN.

Lengsernya Presiden Soeharto memang mengakhiri 32 tahun otoritarianisme Orde Baru, namun belum berhasil mengakhiri praktek KKN dalam penyelenggaraan Pemerintahan.

Saya adalah pelaku sejarah aksi perlawanan mahasiswa sejak tahun 1994 hingga 1998, bahkan sejak masih pelajar saya sudah sering vokal terhadap Orde Baru. Waktu masih pelajar, kritik saya terhadap Orde Baru biasa saya sampaikan melalui ceramah-ceramah di Masjid sekolah dll. Biasanya kalau saya sedang ceramah ada yang nakut-nakuti “Awas KODIM”.

Setelah mahasiswa, aksi perlawanan saya bukan lagi di dalam ruangan tapi di lapangan. Saya memimpin sebuah kesatuan aksi bernama Gerakan Mahasiswa Pecinta Rakyat (GEMPAR) yang digerakkan oleh tokoh-tokoh GMNI, PMII, aktivis teater, LSM dan sebagainya. Waktu itu tokoh-tokoh HMI di kota saya terlambat terjun ke dalam gerakan reformasi, mereka terjun ke dalam gerakan reformasi setelah Soeharto semakin sulit diselamatkan. Tokoh-tokoh HMI dan IMM membuat kesatuan aksi sendiri yang bernama FORMASI. Massa aksi FORMASI tidak seberapa besar dan saya juga sering diundang orasi di kesatuan aksi FORMASI tersebut. Tidak apa-apa Bhinneka Tunggal Ika, berbeda kesatuan aksi namun satu tujuan juga.

Sebagai pelaku sejarah, saya menilai aksi reformasi 98 tidak sepenuhnya gagal, karena walaupun Prof Mahfud MD menyebut praktek KKN saat ini jauh lebih parah daripada jaman Orde Baru, saya merasakan banyak aspek lain yang berhasil diubah oleh gerakan reformasi.

Pertama, Kebebasan berbicara. Pada era Orde Baru tidak ada kebebasan berbicara, orang bicara jam 10 pagi, jam 15 sore sudah lenyap tidak jelas rimbanya. Orang mengkritik pemerintah divonis anti pancasila dan langsung berurusan dengan aparat. Sekarang kita bebas bicara apa saja sepanjang tidak melanggar Undang-undang. Kebebasan berbicara yang melanggar UU adalah hoax, ujaran kebencian dan sejenisnya.

Kedua, Multi Partai. Pada era Orde Baru hanya ada tiga parpol yang boleh menjadi peserta Pemilu. Ketiga Parpol tersebut dikoptasi oleh Pemerintah, hanya satu partai yang dibesarkan sedangkan dua partai lainnya dibonsai. Mereka ikut Pemilu juga tidak sepenuhnya merdeka, karena Pemilu Orde Baru adalah Pemilu penuh rekayasa dan hasil pemilunya sudah bisa dipastikan sebelumnya. Pada tahun 1996 saya memproklamasikan Partai Rakyat Progresif, langsung dibubarkan oleh aparat, bahkan ketua Cabang PMII saat itu ikut membredel saya dengan mengirimi saya surat teguran, memberi saya pilihan, tetap aktif sebagai Pengurus PMII apa aktif sebagai Presiden Partai Rakyat Progresif? Akhirnya saya memilih bubarkan Partai Rakyat Progresif demi kebaikan bersama. Sekarang Undang-undang tidak membatasi jumlah Partai Politik, siapapun bisa bikin Parpol baru sepanjang ada yang dukung dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Supremasi Sipil. Pada era Orde Baru pemerintahan didominasi oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang disingkat ABRI. ABRI punya fraksi sendiri dalam MPR/DPR/DPRD tanpa harus mengikuti Pemilu. Jabatan-jabatan strategis negara dan daerah diduduki oleh ABRI dengan alasan dwifungsi ABRI. Sampai-sampai ABRI saat itu dijuluki Partai ABRI. Salah satu tuntutan utama mahasiswa sepanjang akhir 1990-an adalah Penghapusan Dwi Fungsi ABRI tersebut. Dan setelah Presiden Soeharto lengser bukan hanya Dwi Fungsi ABRI yang berhasil dihapus, bahkan institusi ABRI juga dihapus, TNI dan POLRI dipisahkan, Angkatan Laut dan Udara boleh menjadi Panglima TNI dan banyak perubahan signifikan lainnya. Saat ini TNI dan POLRI betul-betul tunduk kepada supremasi sipil, jika ada pejabat TNI ataupun POLRI ingin berkontestasi dalam sebuah seleksi jabatan politik, maka mereka menunggu pensiun dulu, atau menyatakan berhenti dari kesatuan TNI.

Keempat, Kebebasan Pers. Anda jangan bayangkan dunia pers Orde Baru sama dengan dunia pers saat ini. Pada era Orde Baru pers dibelenggu, berbicara kebenaran sedikit saja pasti langsung dibredel. Saat ini pers berkembang dengan bebas tanpa ancaman bredel. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku, yaitu jangan hoax, jangan hate speech dll.

Kelima, Pembatasan Jabatan Presiden. Pada era Orde Baru, jabatan Presiden tidak dibatasi, namun seiring gerakan reformasi jabatan presiden dibatasi paling lama hanya dua periode. Pembatasan ini tentu sangat penting bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Keenam, Tegaknya Trias Politika. Pada era Orde Baru trias politika roboh berkeping-keping karena kekuasaan legislatif dan yudikatif dijajah oleh Eksekutif. Pada era reformasi saat ini, bukan hanya trias politika yang eksis, bahkan trias politika plus, yaitu plus kekuasaan Pers. Tentu saja ini hanya majas.

Keenam contoh perubahan siginifikan yang sekaligus menjadi pembeda antara era Orde Baru dengan era reformasi tentu saja hanya sebagian kecil dari banyak perubahan dan perbedaan antara kedua sistem tatanan tersebut. Sehingga salah besar reformasi disebut tidak ada gunanya.

Memang beberapa agenda reformasi tampak jalan di tempat bahkan ada yang semakin parah, contohnya pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Kehadiran KPK memang berhasil menangkap beberapa pelaku korupsi, tapi kurang berhasil mencegah kejahatan luar biasa tersebut. Terbukti semakin banyak pejabat ditangkap KPK, semakin banyak pula tangkapan-tangkapan berikutnya. Tidak ada efek jera.

Kita tidak usah apatis dengan situasi ini, semua masih bisa diperbaiki. Republik ini tidak pernah kekurangan cara memperbaiki diri. Gerakan saya dan teman-teman dulu memang bukan gerakan revolusi, kami memilih gerakan reformasi, maka inilah yang terjadi. Perubahannya gradual tidak frontal, kita butuh Kartu Indonesia Sabar untuk semua ini. Jangan samakan dengan revolusi Iran yang perubahannya dikawal oleh Garda Revolusi, kita tidak punya garda reformasi. Namun marilah terus semangat menuntaskan agenda reformasi tanpa harus ada garda reformasi.

*) Penulis adalah salah satu pelaku sejarah gerakan reformasi 1998

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait